Kamis, 23 November 2017

RED LOVE IN RED ISLAND

Sudah pukul empat sore lebih ketika mobil kami memasuki halaman homestay yang sudah kami pesan sebelumnya. Panjul Homestay namanya. Seorang perempuan muda berparas cantik dan berkulit kuning bersih menyambut kami di undakan teras dengan senyum lebar.
"Selamat datang, "sapanya ramah dan menyalami kami satu persatu sambil membantu mengeluarkan koper dan tas-tas kami dari dalam mobil. Ia mengenalkan diri sebagai Pipin, pemilik homestay Panjul.
"Kok sore sekali baru nyampe?" tanya mba Pipin.
"Iya mbak. Mampir-mampir mulu sepanjang jalan," sahut adik iparku.
Mbak Pipin memimpin kami masuk ke dalam homestay dan menunjukkan kamar-kamar yang akan kami tempati untuk menginap nanti malam. Aku menyerahkan sepenuhnya urusan pembagian kamar kepada adik iparku dan sibuk memotret serta mengamati suasana sekitar homestay.
Sesuai keterangan di iklannya, Panjul Homestay berada hampir nyaris di depan pintu masuk area wisata Pantai Pulo Merah. Hanya berjarak sekitar 20 meter. Disebelah kanan kirinya terdapat homestay lainnya. Yang sebelah kanan bernama Rina Homestay dan yang sebelah kiri aku lupa namanya. Tapi belakangan kuketahui rumah di sebelah kiri itu dijadikan mess karyawan perusahaan pertambangan emas yang beroperasi di bukit yang terletak di belakang Pulo Merah.
Gerbang Masuk area wisata Pantai Pulau Merah
picture : by myself
Didepan Panjul Homestay tepatnya di seberang jalan terdapat minimarket bernama AA Mart. Sepasang bule cowok dan cewek keluar dari dalam AA Mart, masing-masing menggenggam kaleng sprite sambil menyesapnya dan berbincang.
"Kita ke pantai sekarang. Ntar gak kebagian sunset," adik iparku tiba-tiba muncul dari dalam homestay dan menyeru kami untuk bergegas ke pantai.
"Tas dan koper udah pada masuk kamar ta?" timpal suaminya-adik laki-lakiku-dari samping rumah sehabis memarkir mobil di garasi homestay yang berada di halaman belakang.
"Alah. .itu belakangan aja. Yang penting kunci kamar udah di aku semua. Ayo buruan." Ia menghalau para keponakannya -ketiga anakku- untuk cepat cepat beranjak ke pantai diiringi oleh adikku di sampingnya. Aku mengekor di belakangnya untuk mengimbangi langkah ibuku sambil sesekali berswafoto.
Tidak sampai lima menit kaki-kaki kami sudah menjejak pasir putih pantai Pulo Merah. Pemandangan pertama yang menyambut kami adalah lukisan jingga dilangit yang seolah menyatu dengan laut, ditingkahi gumpalan-gumpalan awan putih yang cantik. Di tepi lukisan itu menjulang sebuah bukit yang dinamai Pulo Merah tetapi terlihat menghitam dari kejauhan. Seleret cahaya kuning milik sang surya menyembul dari balik awan seolah sedang mengucapkan perpisahan kepada siang untuk naik ke peraduan. Sungguh sebuah mahakarya yang luar biasa.
Jingga yang mempesona
picture : by myself



Pulau Merah yang menghitam dari kejauhan
picture : by myself
 Pantainya membentang luas, bersih dan pasir putihnya terasa lembut masuk di sela-sela jari kakiku yang telanjang. Angin senja yang basah menampar wajah kami. Dari kejauhan ombak bergulung-gulung menuju pantai kemudian pecah menjadi buih-buih kecil setelah menghantam pantai dan menyeret pasirnya ke laut. Sekelompok wisatawan asing yang sedang berselancar di sisi sebelah barat pantai dengan sabar menanti gulungan ombak berikutnya datang agar bisa menungganginya.
Kedua anak lelakiku segera saja sibuk mengabadikan apa saja yang bisa ditangkap oleh layar kamera hp mereka, sementara adiknya -anak perempuanku- bergaya sebagai modelnya. Sambil sesekali menggoda kedua kakak kembarnya dengan mendorong mereka menuju ombak yang melaju ke pantai.
Keadaan pantai sore itu tidak terlalu rame. Mungkin karena hari itu adalah hari Jumat dan bukan musim libur anak sekolah. Hanya tampak serombongan wisatawan lokal yang sibuk bergaya mengabadikan momen senja dan beberapa pasang muda-mudi yang bergandengan tangan menyusuri pantai. Aku duduk di pasir berdampingan dengan ibuku, adikku dan istrinya serta suami istri teman adikku yang tadi telah berbaik hati mengantarkan kami ke sini. Kami bercakap sambil membiarkan celana kami basah dibelai ombak yang menjangkau pantai. Sungguh, sebuah senja yang sempurna.
Menjelang maghrib kami meninggalkan eksotisme senja ini. Para wisatawan lain dan para peselancar juga berbondong meninggalkan pantai yang kian meremang dalam pelukan petang.
"Ntar malam cari makan di sini ya, " usul adikku ketika kami melewati deretan warung makanan sebelum keluar gerbang wisata. Dari banner yang dipasang beragam masakan yang dijual. Aneka penyetan, chinese food, bakso dan lain sebagainya.
"Boleh, " sahutku.
"Aku pengen baksonya aja, " timpal adik iparku yang memang seorang penggemar bakso garis keras.
"Habis isya aja nanti kalau mau keluar lagi cari makan, " usulku dan yang lainnya setuju.
Kami bergegas kembal ke homestay untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
Tas dan koper kami masih teronggok diruang tamu homestay saat kami kembali. Adik iparku segera membagikan kunci kamar dan menunjukkan kamar masing-masing. Aku, ibuku dan anak perempuanku mendapatkan kamar dengan tempat tidur yang paling besar di sebelah ruang tamu. Plus satu extra bed, karena kami bertiga. Si kembar menempati kamar di belakang ruang tamu, adikku dan istrinya di kamar sebelahnya lagi. Semua memiliki kamar mandi dalam kecuali kamar si kembar. Mereka akhirnya memilih untuk mandi di kamarku daripada menggunakan kamar mandi homestay yang terletak di sebelah dapur.
Kamarnya secara umum bersih dan rapi dilengkapi dengan AC, meja rias, cermin dan flat tv 21 inch. Tapi sayangnya kabel colokan untuk tv putus sehingga tv nya tidak bisa difungsikan. Berhubung kami hanya menginap satu malam dan tidak berniat menghabiskan waktu hanya di dalam kamar saja aku mengabaikan kondisi ini. Kamar mandinya kecil, khas hotel/penginapan yang padat dan efisien. Dilengkapi dengan toilet duduk, shower (normal water only), gantungan handuk dan centelan baju serta ember kecil penampung air. Ketika aku membuka dan menutup kembali pintu kamar mandi baru ketahuan kalau handlenya rusak dan tidak bisa dikunci. Tetapi masih bisa ditutup rapat dan aku kembali membiarkan kondisi ini mengingat letak kamar mandinya di dalam. Yang penting kamar mandinya bersih dan memang bersih.

Panjul Homestay tampak dari depan
picture : by Panjul Homestay


suasana ruang tamu dan kamar di Panjul Homestay
picture : by Panjul Homestay

Seperti yang sebelumnya direncanakan, selepas isya kami keluar mencari makan. Tapi hanya berempat dari kami yang pergi karena si kembar merasa masih kenyang dan memilih untuk berdiam di kamar sambil main gadget. Sementara ibuku mengeluh capek dan pusing jadi beliau minta dibungkuskan saja supaya bisa tidur.
Kami langsung menuju tempat deretan warung yang kami lewati sore tadi dan langsung menuai kekecewaan. Ternyata selepas maghrib warung-warung tersebut berhenti beroperasi. Termasuk rombong bakso yang tadi diincar adik iparku juga telah pergi meninggalkan lokasi membuatnya patah hati. Ada satu warung yang masih buka dan penuh dengan pelanggan bule yang kelihatannya sedang berpesta, tetapi adikku menolak masuk meskipun aku melihat masih ada beberapa bangku yang cukup untuk kami berempat. Kamipun keluar dari area wisata dan berjalan menuju arah sebaliknya berharap ada warung makanan lainnya, tapi hasilnya sama saja. Tidak mau berspekulasi dengan berjalan lebih jauh lagi akhirnya kami memutuskan membeli mie cup di AA mart dan beberapa cup kopi instan serta milo untuk anak perempuanku. Aku terpaksa membelikan ibuku mie cup juga karena tidak ada pilihan lain dan menyantapnya bersama-sama di bangku teras Panjul Homestay. Sementara dari balik kegelapan yang semakin memekat terdengar deburan ombak di pantai yang sesekali gemuruhnya terasa mengerikan. Kami berbincang di teras homestay hingga mata kami memaksa untuk segera naik peraduan.
*    *    *
Esok harinya, ibuku membangunkanku saat subuh. Ketika membuka mata kulihat beliau telah segar habis mandi dan tentu saja sudah sholat subuh. Kebiasaan baik yang susah menurun padaku, hiks.
"Cepetan sholat. Ibu mau jalan-jalan dulu di luar, " ucap beliau sambil menarik selimutku.
"Berani sendirian bu? Masih gelap lo,"jawabku sambil menguap mengusir kantuk.
"Apa juga yang harus ditakuti. Sudah sana sholat. Bangunin juga anakmu. "
Beliau lantas pergi menunaikan maksudnya dan aku bergegas untuk ambil air wudhu.
Butuh ekstra usaha untuk membuat anak-anak bangun di pagi hari. Setelah beberapa adegan tarik selimut dan tepukan di bokong serta beberapa gedoran pintu untuk si kembar barulah mereka bisa meninggalkan buaian mimpinya. Sambil menunggu anak-anak selesai sholat dan bersiap aku duduk-duduk di teras homestay. Adikku dan istrinya telah mengikuti jejak ibuku, berjalan-jalan entah kemana.
Udara pagi yang segar terhirup olehku. Suasana di luar homestay masih lengang dan gelap. Ombak pantai yang berdebur-debur terdengar jelas dari tempatku berada. Aku menyempatkan mengabadikan keremangan fajar itu dengan kembali memotret obyek yang sama dengan yang kupotret kemarin sore. Serombongan orang berseragam dengan safety vest berwarna kuning terang, mengenakan helm proyek, bersepatu boot dan bercelana jeans melintas didepanku. Ada seorang wanita di antara mereka. Sesaat kupikir mereka adalah life guard meskipun aku merasa agak janggal dengan atribut yang dikenakan. Namun kemudian sapaan seseorang dari halaman rumah sebelah homestay menjawab keherananku.
"Lagi liburan neng?" tanyanya sambil memanaskan mesin mobil. Jenis mobil offroad dengan bak terbuka di belakangnya. Bapak tersebut berpakaian sama dengan rombongan yang baru melintas tadi.
"Ya pak," jawabku mengiyakan. Lalu tanyaku, "Bapak life guard ya?"
Beliau menjawab dengan tawa. Begitu juga dengan teman di sebelahnya yang sedang menaikkan beberapa barang ke atas bak belakang mobil.
"Bukan neng. Kami pekerja tambang," jawabnya kemudian lalu menyebutkan nama sebuah perusahaan penambang emas.
Kami bercakap-cakap sebentar seputar pekerjaannya dan sebagai bonusnya aku memotret bapak tersebut tanpa terpikir untuk bertanya namanya #lol, bener-bener nggak kepikiran.
Anak perempuanku muncul dengan menggunakan hoodi dan memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua tangan.
"Mana kakakmu? " tanyaku.
"Tauk," jawabnya acuh.
Bergegas aku kembali ke kamar mereka hanya untuk menemukan kenyataan yang mengecewakan. Dua brondong yang baru kumisan itu menekuk lututnya masing-masing dan berbagi selimut untuk melanjutkan mimpinya. OMG.. kita ini piknik sodara, bukan pindah tidur. Setelah berdebat agak lama yang dibumbui dengan ancaman dan pemaksaan akupun menyerah dan meninggalkan mereka.
"Ntar aku nyusul," teriak salah satu dari mereka dari balik selimut. Whatever, sungutku kesal sambil menarik tangan anak petempuanku menuju pantai.
Tetapi kekesalanku seketika hilang begitu kami kembali menjejakkan kaki di pantai. Ya Allah, ini surga. Bentangan pasir putihnya yang luas dan panjang membuatku tak sabar untuk segera melepas alas kaki dan berlqri di hamparannya. Ombak bergulung-gulung ditengah laut dan hanya menyisakan gelombang yang tak seberapa ketika menyapu pantai. Angin yang berhembus kencang menebalkan hawa segar di pagi hari. Dan di atas kami langit pagi yang putih bersih menjelma seperti shower raksasa ketika semburat mentari mulai bermunculan dari balik awan mengguyur kami yang di bumi dengan kehangatan. It"s so beautiful scene.
Pagi yang damai
picture :by my self
Pagi yang damai
picture : by myself
Menapak jejak
picture : by myself
Pulau Merah yang menghijau di pagi hari
picture : by myself


Dari kejauhan kulihat ibu dan adikku beserta istrinya melambai-lambaikan tangan ke arah kami. Karena masih sangat pagi -sekitar jam setengah enam- pantai masih sepi. Keadaan itu seolah menjadikannya sebagai pantai pribadi. Tetapi beberapa peselancar ada juga yang sudah memulai petualangannya menantang ombak. Dari balik rimbunan bakau terlihat beberapa backpacker yang berkemas menggulung tenda. Aku menggoda anakku dengan menariknya mendekat ombak yang datang membuatnya menjerit-jerit kecentilan dan celana serta baju kami basah tak terelakkan.

Berlima kami menyusuri pantai, merasakan lembutnya pasir putih dan tepukan sisa ombak yang menjangkau kaki kami. Bukit Pulo Merah yang kemarin sore tampak menghitam dari kejauhan kini tampak berdiri kokoh dan hijau di hadapan kami. Disebut sebagai pulau merah karena pasir dan kerikil yang terhampar di pantainya berwarna kemerah-merahan sehingga ketika tersorot cahaya warna merah akan terpantul dan menyelimuti bukitnya. Tetapi kami tidak bisa menjumpai fenomena tersebut pagi ini. Mungkin karena bukitnya sudah ditumbuhi oleh pepohonan sehingga pantulan warna merahnya kalah oleh hijaunya dedaunan. Karena keberadaannya pula, perairan di sisi depan pulai merah tenang tidak berombak. Airnya sangat jernih dan dalamnya hampir sedada orang dewasa. Tanpa berpikir panjang aku menceburkan diri kedalamnya. Adik iparku berteriak-teriak khawatir aku menginjak landak laut atau hewan laut lainnya yang beracun. Tapi siapa sih yang bisa menolak hidangan yang menggiurkan seperti ini? Akhirnya hanya aku dan anakku yang menikmati kolam renang raksasa ciptaan Tuhan ini.
Puas bermain air di pantai dengan anakku, aku menuju ke tempat ibuku yang telah menyewa tempat duduk berpayung. Per jam harga sewanya dua puluh ribu. Tetapi kalau langsung tiga jam dihargai lima puluh ribu.
Dihadapan beliau telah terhidang es degan dan beberapa kudapan.
"Pagi-pagi minum es bu? Tahan?" tanyaku sembari menghenyakkan pantat diruang kosong sebelahnya.
"Nggak pakai es. Ibu minta yang biasa. "
"Huda mana?"
"Jalan kesana sama istrinya. Ibu nggak ikut, capek. "
Dikejauhan kulihat adikku menggandeng tangan istrinya menyusuri pantai.
Dua orang ibu-ibu menyapa kami.
"Buah naganya bu, mbak. Buat oleh-oleh, " kata salah satu dari mereka sambil menyodorkan irisan buah naga kepada kami. Kuambil sepotong dan kumakan. Hmm, manis dan segar.
"Berapa?"
"Tiga kilo sepuluh ribu, " jawab salah satu ibu sambil menujukkan kantong plastik berisi buah naga sekitar tujuh sampai delapan biji.
"Beneran?" tanyaku tak percaya. Di surabaya perkilo dihargai dua puluh sampai tiga puluh ribu.
Akhirnya kami membeli lima kantong plastik dan minta agar diantarkan ke homestay.
Menjelang jam sembilan sikembar muncul. Keduanya datang dengan mengantongi tangan masing-masing ke dalam sweater.
"Ma, lapar," ucap salah satu dari mereka sambil nyengir. Seorang lagi tanpa berkata apa-apa langsung merebahkan diri disalah satu kursi pantai dan tidur. OMG, ingin sekali kujitak kepala mereka berdua.
Ketika hari semakin beranjak siang pantai mulai ramai. Beberapa bus pariwisata dan kendaraan pribadi mulai memenuhi parkiran. Kamipun meninggalkan pantai untuk ganti memberikan kesempatan kepada mereka menikmati keindahan pantai Pulo Merah dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke tempat berikutnya.
Pantai Pulo Merah meninggalkan kesan yang mendalam bagiku seperti merahnya hatiku yang jatuh cinta pada pandangan pertama terpikat oleh keindahannya.

Saran Pribadi :

  1. Akan lebih menyenangkan bila berkunjung ke sana tidak bertepatan dengan musim liburan, supaya bisa menikmati dan mengeksplore keindahan pantai sepuas-puasnya.
  2. Jika berniat menginap lebih baik mencari hotel/penginapan/homestay yang dekat pantai. Supaya waktu tidak habis di jalan. Karena suasana terindah dan tersyahdu di pantai itu saat pagi dan sore. Dan jika menginap di dekat pantai usahakan menyimpan bekal makan untuk makan malam karena selepas maghrib mayoritas warung makanan akan tutup.
  3. Harga homestay berkisar antara 200 s/d 300 ribu/malam/ kamar atau kalau mau sewa satu rumah antara Rp. 1,3 juta s/d 1,5 jt per malam dan bisa diisi 15 s/d 20 orang. Cocok untuk yang ingin liburan dengan rombongan besar.

Bagi yang berminat menginap di Panjul Homestay bisa menghubungi Mbak Pipin di no 085234179677.

Minggu, 19 November 2017

WRITING IS HEALING

sumber gambar : internet
Percakapan yang sedianya dimaksudkan untuk mengklarifikasi sebuah permasalahan dan mencari pemahaman bersama berujung menjadi kegaduhan yang tak terelakkan. Pasangan suami istri yang sudah tahunan mengarungi bahtera rumah tangga bersama itu saling meninggikan suara. Bentakan dan sanggahan bersahutan di dalam ruang tamu mereka yang sederhana. Endingnya, sebuah vas bunga dari porselen melayang ke udara dan menghantam dinding sebelum akhirnya jatuh berkeping di lantai. Sang istri menangis tersedu di sudut ruang tamu dan sang suami berlalu meninggalkan rumah dengan kemarahan yang belum reda. Sementara itu dari balik pintu kamar tersembul kepala-kepala mungil dengan sorot mata ketakutan menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya.

Beberapa tahun silam saat negara api menyerang, aku pernah berada dalam drama yang nyaris sama dengan situasi tersebut. Bedanya bukan vas bunga yang melayang tapi hp yang harus dikorbankan #lhaaaa... malah tambah tombok akeh, pekok og ancene aku biyen. Begitulah, negara api menyerang dan menghancurkan semuanya membuatku harus mengakhiri segalanya. Tragedi itu meninggalkan luka dan trauma buat kami semua.


Masa-masa setelah itu bisa dikatakan menjadi masa tersuram dalam hidupku. Aku seolah berada dalam ruang tanpa udara dan cahaya sementara sekelompok dementor melayang-layang di atasku menghisap habis kebahagiaanku. Celakanya sebagai seorang mugle aku tak bisa menciptakan patronus untuk mengusir dementor, kecuali si kembar Weasly atau Cedric Digorry datang menolongku #ngawuuur I
Intinya aku berada dalam titik nol dalam hidupku. Depresi berlarut-larut dan menjalani hidup hanya karena masih bernapas saja. Untunglah aku orangnya takut mati sehingga bisa melawan hasrat untuk bunuh diri. Kalau kehilangan selera makan termasuk perbuatan menyakiti diri sendiri maka itulah yang kulakukan. Waktu itu bulan ramadhan. Dan sebulan penuh aku hampir tidak pernah makan sahur maupun berbuka dengan layak. Paling pas buka minum segelas air terus nyomot kue satu, sudah. Begitu juga saat sahur, bahkan sering nggak makan sama sekali. Tubuhku yang sudah kurus menjadi semakin kurus. Tapi anehnya dan alhamdulillah aku tidak menjadi sakit karena hal itu.

Ironisnya aku ini orangnya introvert dan pemalu #uhuks. Aku tidak terbiasa dan tidak nyaman menceritakan masalahku kepada orang lain. Bahkan kepada keluarga sendiri. Aku selalu cenderung menyimpannya untuk diri sendiri. Sikap seperti ini tentu sangat berbahaya secara kesehatan mental. Depresi yang berkepanjangan dan tidak segera diatasi akan terakumulasi menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak. Dan puncaknya adalah tindakan yang bisa menyakiti diri sendiri dan orang lain bahkan bunuh diri. Naudzubilahimindzalik. ..

Aku harus selalu bersyukur masih dikaruniai sedikit kewarasan untuk bisa memaksa diri sendiri keluar dari tekanan batin itu. Suatu malam aku mengambil kertas hvs dan mulai menulis dalam huruf kapital menggunakan board marker. Kalimat pertama yang kutulis adalah "RASA SAKIT INI BAGAIKAN GATAL DI PUNGGUNG YANG TAK BISA KUGARUK" #ayobayangin, kesel kan kalau gatal terus nggak bisa nggaruk. Aku berusaha mendeskripsikan apa yang sedang ku rasakan dan yang ingin kulakukan.Kemudian setelahnya, berlembar-lembar kertas hvs bertebaran di lantai penuh berisi tulisan. Aku memaki, mengumpat, misuh, meratap, mengutuk dan sebagainya dan sebagainya. Setiap goresan board marker yang aku tekankan di kertas hvs itu berisi endapan emosi dan perasaan yang aku pendam selama ini. Selain menulis berlembar-lembar sumpah serapah, aku juga menangis #kudu no wong aku gembeng. Berjam-jam aku melakukan hal itu. Menulis dan menangis. That night, I was trying to cure my self. And thank God it worked. Beban itu sedikit demi sedikit terangkat. Aku tak butuh patronus apalagi Cedric Digory untuk membuat dementor pergi. Aku hanya perlu jujur kepada diriku sendiri dan menuliskannya. Aku memilih untuk membuat diriku bahagia.

Dalam sebuah bahasan psikologi (aku lupa membacanya di mana) bahwa sebagian besar orang yang sedang memiliki masalah sebenarnya tahu dengan persis solusi dari masalah yang sedang dihadapinya. Yang sebenarnya dibutuhkan adalah media untuk bisa membantu melepaskan emosi/depresinya. Makanya seseorang yang sedang bermasalah cenderung membutuhkan teman untuk curhat. Bukan untuk meminta solusi tetapi lebih kepada membutuhkan orang yang bisa mendengarkan keluh kesahnya. Psikiater adalah media profesional yang bisa dipilih. Dan menulis adalah bentuk pilihan lainnya.


Curhat kepada diri sendiri melalui tulisan itu berlanjut hingga kini. Aku tidak memiliki buku khusus semacam diary untuk menampung keluh kesahku sendiri. Aku masih sering menulis di lembar kertas hvs yang kadang kusimpan untuk beberapa lama dan kemudian kubuang. Kalau di hp aku menggunakan aplikasi evernote sebagai penampung luapan emosiku. Tapi ya gitu, jarang yang kusimpan secara permanen kecuali yang sifatnya umum dan bisa dikonsumsi orang banyak. Seringnya ketika iseng-iseng membacanya lagi aku merasa malu dan muneg-muneg #nggilani, wkwkwkwk.Yang penting bagiku adalah bagaimana mengeluarkan emosi itu. Dengan curhat kepada diri sendiri aku tidak perlu jaim. Aku bisa jujur, sejujur-jujurnya dan sebenarnya itulah pointnya.

ps. 
Beberapa hari ini aku membaca di temlen beberapa peristiwa yang mengisahkan seorang ibu, nenek atau orang-orang terdekat lainnya yang tega melakukan penganiayaan kepada anaknya,cucunya atau kerabatnya yang masih anak-anak. Pertanyaannya, kok bisa? Kok tega mereka melakukan tindakan tersebut. Dari beragam pendapat yang muncul kondisi kejiwaan pelaku dianggap sebagai pemicu utama, dimana mungkin sebelumnya para pelaku tersebut memiliki trauma dan luka yang belum tersembuhkan sehingga tindakan penganiayaan tersebut terjadi sebagai bentuk pelampiasan.Entah benar atau tidak, dengan alasan apapun tentunya tindakan penganiayaan tersebut tidak bisa dibenarkan.Topik ini mengingatkan diriku -orang yang merasa pernah memiliki trauma dan luka dan berada pada titik terendah dalam hidup- untuk selalu berucap syukur alhamdulillah bisa terlepas dari jeratan depresi.