Tampilkan postingan dengan label ernest hemingway. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ernest hemingway. Tampilkan semua postingan

Minggu, 19 November 2017

WRITING IS HEALING

sumber gambar : internet
Percakapan yang sedianya dimaksudkan untuk mengklarifikasi sebuah permasalahan dan mencari pemahaman bersama berujung menjadi kegaduhan yang tak terelakkan. Pasangan suami istri yang sudah tahunan mengarungi bahtera rumah tangga bersama itu saling meninggikan suara. Bentakan dan sanggahan bersahutan di dalam ruang tamu mereka yang sederhana. Endingnya, sebuah vas bunga dari porselen melayang ke udara dan menghantam dinding sebelum akhirnya jatuh berkeping di lantai. Sang istri menangis tersedu di sudut ruang tamu dan sang suami berlalu meninggalkan rumah dengan kemarahan yang belum reda. Sementara itu dari balik pintu kamar tersembul kepala-kepala mungil dengan sorot mata ketakutan menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya.

Beberapa tahun silam saat negara api menyerang, aku pernah berada dalam drama yang nyaris sama dengan situasi tersebut. Bedanya bukan vas bunga yang melayang tapi hp yang harus dikorbankan #lhaaaa... malah tambah tombok akeh, pekok og ancene aku biyen. Begitulah, negara api menyerang dan menghancurkan semuanya membuatku harus mengakhiri segalanya. Tragedi itu meninggalkan luka dan trauma buat kami semua.


Masa-masa setelah itu bisa dikatakan menjadi masa tersuram dalam hidupku. Aku seolah berada dalam ruang tanpa udara dan cahaya sementara sekelompok dementor melayang-layang di atasku menghisap habis kebahagiaanku. Celakanya sebagai seorang mugle aku tak bisa menciptakan patronus untuk mengusir dementor, kecuali si kembar Weasly atau Cedric Digorry datang menolongku #ngawuuur I
Intinya aku berada dalam titik nol dalam hidupku. Depresi berlarut-larut dan menjalani hidup hanya karena masih bernapas saja. Untunglah aku orangnya takut mati sehingga bisa melawan hasrat untuk bunuh diri. Kalau kehilangan selera makan termasuk perbuatan menyakiti diri sendiri maka itulah yang kulakukan. Waktu itu bulan ramadhan. Dan sebulan penuh aku hampir tidak pernah makan sahur maupun berbuka dengan layak. Paling pas buka minum segelas air terus nyomot kue satu, sudah. Begitu juga saat sahur, bahkan sering nggak makan sama sekali. Tubuhku yang sudah kurus menjadi semakin kurus. Tapi anehnya dan alhamdulillah aku tidak menjadi sakit karena hal itu.

Ironisnya aku ini orangnya introvert dan pemalu #uhuks. Aku tidak terbiasa dan tidak nyaman menceritakan masalahku kepada orang lain. Bahkan kepada keluarga sendiri. Aku selalu cenderung menyimpannya untuk diri sendiri. Sikap seperti ini tentu sangat berbahaya secara kesehatan mental. Depresi yang berkepanjangan dan tidak segera diatasi akan terakumulasi menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak. Dan puncaknya adalah tindakan yang bisa menyakiti diri sendiri dan orang lain bahkan bunuh diri. Naudzubilahimindzalik. ..

Aku harus selalu bersyukur masih dikaruniai sedikit kewarasan untuk bisa memaksa diri sendiri keluar dari tekanan batin itu. Suatu malam aku mengambil kertas hvs dan mulai menulis dalam huruf kapital menggunakan board marker. Kalimat pertama yang kutulis adalah "RASA SAKIT INI BAGAIKAN GATAL DI PUNGGUNG YANG TAK BISA KUGARUK" #ayobayangin, kesel kan kalau gatal terus nggak bisa nggaruk. Aku berusaha mendeskripsikan apa yang sedang ku rasakan dan yang ingin kulakukan.Kemudian setelahnya, berlembar-lembar kertas hvs bertebaran di lantai penuh berisi tulisan. Aku memaki, mengumpat, misuh, meratap, mengutuk dan sebagainya dan sebagainya. Setiap goresan board marker yang aku tekankan di kertas hvs itu berisi endapan emosi dan perasaan yang aku pendam selama ini. Selain menulis berlembar-lembar sumpah serapah, aku juga menangis #kudu no wong aku gembeng. Berjam-jam aku melakukan hal itu. Menulis dan menangis. That night, I was trying to cure my self. And thank God it worked. Beban itu sedikit demi sedikit terangkat. Aku tak butuh patronus apalagi Cedric Digory untuk membuat dementor pergi. Aku hanya perlu jujur kepada diriku sendiri dan menuliskannya. Aku memilih untuk membuat diriku bahagia.

Dalam sebuah bahasan psikologi (aku lupa membacanya di mana) bahwa sebagian besar orang yang sedang memiliki masalah sebenarnya tahu dengan persis solusi dari masalah yang sedang dihadapinya. Yang sebenarnya dibutuhkan adalah media untuk bisa membantu melepaskan emosi/depresinya. Makanya seseorang yang sedang bermasalah cenderung membutuhkan teman untuk curhat. Bukan untuk meminta solusi tetapi lebih kepada membutuhkan orang yang bisa mendengarkan keluh kesahnya. Psikiater adalah media profesional yang bisa dipilih. Dan menulis adalah bentuk pilihan lainnya.


Curhat kepada diri sendiri melalui tulisan itu berlanjut hingga kini. Aku tidak memiliki buku khusus semacam diary untuk menampung keluh kesahku sendiri. Aku masih sering menulis di lembar kertas hvs yang kadang kusimpan untuk beberapa lama dan kemudian kubuang. Kalau di hp aku menggunakan aplikasi evernote sebagai penampung luapan emosiku. Tapi ya gitu, jarang yang kusimpan secara permanen kecuali yang sifatnya umum dan bisa dikonsumsi orang banyak. Seringnya ketika iseng-iseng membacanya lagi aku merasa malu dan muneg-muneg #nggilani, wkwkwkwk.Yang penting bagiku adalah bagaimana mengeluarkan emosi itu. Dengan curhat kepada diri sendiri aku tidak perlu jaim. Aku bisa jujur, sejujur-jujurnya dan sebenarnya itulah pointnya.

ps. 
Beberapa hari ini aku membaca di temlen beberapa peristiwa yang mengisahkan seorang ibu, nenek atau orang-orang terdekat lainnya yang tega melakukan penganiayaan kepada anaknya,cucunya atau kerabatnya yang masih anak-anak. Pertanyaannya, kok bisa? Kok tega mereka melakukan tindakan tersebut. Dari beragam pendapat yang muncul kondisi kejiwaan pelaku dianggap sebagai pemicu utama, dimana mungkin sebelumnya para pelaku tersebut memiliki trauma dan luka yang belum tersembuhkan sehingga tindakan penganiayaan tersebut terjadi sebagai bentuk pelampiasan.Entah benar atau tidak, dengan alasan apapun tentunya tindakan penganiayaan tersebut tidak bisa dibenarkan.Topik ini mengingatkan diriku -orang yang merasa pernah memiliki trauma dan luka dan berada pada titik terendah dalam hidup- untuk selalu berucap syukur alhamdulillah bisa terlepas dari jeratan depresi.