Selasa, 31 Oktober 2017

MY FRIEND FLOENZO

Dulu, ada masa saat aku begitu keranjingan dengan yang namanya chat online. Masa-masa saat masih kemaruk sama skype, ym, msn. Dan ngobrolnyapun milih sama yang produk impor. Sok bangetlah pokoknya. Berbekal kosakata yes and no doang stok pede naik lima ratus persen. Padahal seringnya sih beraninya cuman chat message. Kalau diajakin video chat ada aja alasan buat nolak. Yang koneksinya lemot lah, kamera lagi rusak lah dan sebagainya dan sebagainya. Padahal sih cuma buat ngumpetin kegagapan berbahasa saja. Kan nggak lucu ngobrol sambil pegang kamus hehehe... tapi kalau cuma chat message kan nggak bakalan kelihatan.
Dari aktifitas yang suka ngabisin kuota itu aku punya teman chatting yang cukup unik. Nama onlinenya Floenzo, ngakunya sih dari Italia. Berhubung sama-sama dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa inggris aku cukup pede untuk video chat beberapa kali dengan dia. Dan terbukti, do'i juga nggak pinter-pinter amat inggrisnya. Bagusan aku malah #tepukdada.
Floenzo ini berprofesi sebagai model lukisan telanjang. Iya, bener. Dia seorang nudis art yang kalau pas dapat job gitu harus berpose dalam posisi/gaya yang sama selama 6-8 jam dengan waktu istirahat tiap 2 jam. Dan telanjang. Bayangin coba, harus nungging atau apalah gitu selama 8 jam. Kesemutan sudah pasti dan bonus masuk angin juga. Dia sering mengeluh dengan pekerjaannya yang cukup melelahkan secara fisik tapi toh tetap dijalani juga karena katanya sepadan dengan hasilnya. Dengan bekerja tiga sampai empat kali seminggu ia bisa menghidupi dirinya sendiri dengan cukup layak dan cukup punya waktu luang untuk berjalan-jalan.
Yang aku salut dari Floenzo, dengan profesinya yang (mungkin) menurut sebagian besar orang (termasuk aku) memiliki stigma yang tidak pantas (apalagi di Indonesia mungkin malah dianggap sebagai bentuk lain dari prostitusi), dia seorang gentleman. Dia memperlakukan aku dengan sopan dan penuh hormat dalam setiap obrolan kami baik melalui video chat maupun message chat. Tidak ada kata-katanya yang kurangajar. Aku yakin sebagian besar dari kalian ketika membaca kalau profesinya adalah seorang nudis art pasti berpikir (meskipun sekilas) dia seorang yang mesum dan komunikasi kami pasti berorientasi sex. Aku awalnya beranggapan seperti itu juga tapi ternyata anggapanku salah.
Saat pertama kali video chat dia meminta ijin dengan sopan apakah aku bersedia melakukannya. Ketika aku memberitahu kalau aku muslim dan berhijab dia semakin berhati-hati dengan sikapnya. Dia meminta maaf ketika secara tidak sengaja terlihat bertelanjang dada saat tiba-tiba saja video chat kami tersambung dan segera menutup laptopnya untuk bergegas mengenakan kaos.
Bagi Floenzo (dan budaya di negaranya memang menerima) bahwa nudis art adalah pekerjaan profesional dan baik. Dia pernah bertanya tentang pendapatku mengenai pekerjaannya dan dengan jujur kukatakan kalau secara pribadi dan didukung dengan agama yang kuanut serta budaya yang berkembang di negaraku, aku tidak bisa menerima nudis art sebagai pekerjaan. Lalu dia kembali bertanya kalau begitu apakah kami masih bisa berteman. Tentu saja, jawabku asal dia tidak telanjang di depanku. Dan kamipun tertawa.
Berteman dengan Floenzo membuatku menyadari arti pepatah "Don't judge the book by it's cover". Kita memang tidak seharusnya dengan gegabah membuat kesimpulan atas sesuatu tanpa mempelajari/mengenalnya terlebih dahulu. Ojo grusa-grusu jare simbah biyen.
Entah bagaimana kini kabar Floenzo karena aku sudah lama insyaf dari chit chat online.



sumber gambar : internet

Sabtu, 28 Oktober 2017

DESTINATION

Ika Natassa dalam bukunya CRITICAL ELEVEN mendeskripsikan tokoh utamanya sebagai orang yang menjadikan bandara sebagai tempat favorit karena "Airport is the least aimless place in the world. Everything about the airport is destination. Semua yang ada di bandara harus punya tujuan dan memang punya tujuan. Bahkan tujuan itu tercantum jelas di secarik kertas. Boarding Pass. “Boarding pass is my mission statement in life"
For some reason I feel the same way. Menjadi seorang single mom terkadang memunculkan kekhawatiran-kekhawatiran yang berlebihan dalam diriku. Sebagian besar adalah tentang the guilty feeling karena merasa tak bisa menghadirkan gambaran yang utuh tentang sebuah keluarga kepada anak-anak. Mencoba berperan sebagai ibu sekaligus ayah tentu tak sama rasanya dengan hanya menjadi ibu atau hanya menjadi ayah. Aku sering dihantui pertanyaan-pertanyaan yang aku sendiri takut akan jawabannya. The future is mysteri and sometime it becomes scary mysteri for me.
Memegang boarding pass dan mengetahui dengan pasti tempat yang akan kutuju mendatangkan semacam perasaan "yeah, inilah tujuan (hidup)ku". Sensasi itu untuk sejenak membuatku menjadi orang yang visioner, percaya diri, berani dan berkharisma #ih, yang muncul dalam kepalaku lha kok Miranda Priestly (Meryl Streep) di The Devil Wears Prada. Sadis dunk..
sumber gambar : internet
Sebagai orang yang visioner akan mudah bagiku memberikan masukan dan pertimbangan yang logis, rasional dan berorientasi masa depan kepada anakku yang sedang galau antara memilih desain produk atau desain interior.
Sebagai orang yang percaya diri dan berani tantangan kehidupan haruslah dihadapi bukan ditakuti. Life is risking. No pain no gain. Apalagi kalau kelasnya hanya pasang galon, benerin kran kamar mandi sama ngecet tembok. Gempiil.. . Ada yang mau nantangin ke KUA?? Siapa takuut... #cieee.
Ya, semacam itulah. Sesuatu yang remeh tapi memberi sugesti yang besar. Especially for me. Makanya terkadang setelah aku kembali dari sebuah perjalanan, untuk beberapa lama aku nongkrong aja di bandara sambil bengong lihat orang lalu lalang dan mengabaikan tawaran para supir taxi yang berebut mengantarku pulang. Aku hanya ingin memerangkap "rasa itu" lebih lama lagi di dalam otakku, berharap sugestinya bisa menguatkanku menghadapi hidup yang tanpa kepastian. #tsaaah. ...

Bandara Gorontalo

😎