Rabu, 05 Agustus 2020

LOLA AND THE BOY NEXT DOOR (By Stephanie Perkins ) #Chapter One

sumber : internet

Aku mempunyai tiga permintaan sederhana. Semuanya bukan permintaan yang berlebihan.

 

Yang pertama adalah menghadiri gaun musim dingin resmi layaknya Marie Antoinette.  Aku ingin sebuah wig yang rumit yang bisa mengandangkan seekor burung dan sebuah gaun yang sangat lebar sehingga aku hanya bisa masuk ruang dansa melalui pintu ganda.  Tapi aku akan mengangkat rokku tinggi-tinggi  saat datang untuk menunjukkan sepasang  sepatu panggung tempur hingga semua orang bisa melihat bahwa dibawah rok yang berjumbai-jumbai aku adalah seorang punk-rock yang tangguh.

 

Yang kedua adalah orangtuaku menyetujui hubunganku dengan pacarku.  Mereka membencinya. Mereka membenci rambutnya yang memutih dengan akar yang tetap gelap dan mereka benci tangannya yang bertato bergambar lengan  jaring laba-laba dan bintang.  Menurut mereka bulumatanya tampak merendahkan dan senyumnya lebih dibuat-buat.  Dan mereka tersiksa mendengarkan musiknya yang membahana dari kamarku, dan mereka lelah bertengkar mengenai jam malam kapanpun aku menyaksikan bandnya bermain di klub.

 

Dan permintaanku yang ketiga?

 

Untuk tidak-tidak-tidak pernah lagi bertemu dengan si kembar Bell lagi. Jangan pernah.

 

Tetapi aku lebih suka berdiskusi tentang pacarku. Aku menyadari bahwa menginginkan persetujuan orang tuaku bukanlah sesuatu yang keren, tapi jujur saja, hidupku akan lebih mudah jika mereka menerima bahwa Maxlah orangnya.  Ini berarti akhir dari pembatasan yang memalukan, akhir dari pengecekan setiap-jam-setiap telepon untuk kencan kami dan yang terbaik dari semuanya adalah berakhirnya brunch di hari Minggu.

 

Berakhirnya pagi seperti ini.

 

"Tambah wafflenya Max?"

 

Ayahku, Nathan, mendorong tumpukan keemasan itu ke pacarku, menyeberangi meja pertanian kami yang antik.  Itu bukanlah pertanyaan yang sebenarnya. Itu adalah sebuah perintah sehingga orangtuaku bisa melanjutkan interogasi mereka sebelum kami pergi.  Penghargaan yang kuterima untuk menghadapi brunch?  Kencan minggu siang yang lebih santai dengan lebih sedikit pengecekan

 

Max mengambil dua dan menuangkan untuk dirinya sendiri sirup raspbery peach.  "Terimakasih, sir. Mengagumkan seperti biasa." Dia menuangkan sirup dengan hati-hati, satu tetes untuk setiap kotaknya.  Terlepas dari penampilannya, Max  pada dasarnya berhati-hati. Itulah sebabnya dia tidak pernah minum ataupun mengisap ganja pada Sabtu malam. Dia tidak ingin datang untuk brunch dengan terlihat mabuk yang mana tentu saja itu adalah hal yang  sedang diawasi oleh orangtuaku. Bukti dari penyelewengan.

 

"Terimakasih Andy." Nathan menyentakkan kepalanya kepada ayahku yang lain, yang menjalankan toko pie di luar rumah. "Dia yang membuatnya."

 

"Lezat. Terimakasih sir." Max tidak pernah kehilangan sebuah pukulan. "Lola, apakah kau sudah selesai?"

 

Aku meregang, dan gelang-gelang Bakelit berukuran tujuh inci di pergelangan kananku saling berbenturan.  "Yeah, seperti dua puluh menit yang lalu. Ayo," aku menoleh dan memohon pada Andy, kandidat yang paling besar kemungkinannya untuk membiarkan kami pergi. "Bolehkan kami pergi sekarang?"

 

Dia mengerjapkan matanya dengan polos. "Mau nambah jus jeruk?Frittata?"

 

"Tidak" Aku berjuang dari keterpurukan. Terpuruk itu tidak menarik.

 

Nathan menusuk waffle yang lain. "Jadi. Max. Bagaimana pembacaan meter dunia berjalan?"

 

Saat Max tidak sedang menjadi dewa rock punk indie, dia bekerja untuk City of San Fransisco.  Hal itu membuat Nathan dongkol bahwa Max tidak tertarik untuk kuliah.  Tetapi apa yang tidak dipahami oleh ayahku adalah bahwa Max itu sebenarnya brilliant. Dia membaca buku filosofi yang rumit yang ditulis oleh orang yang namanya tidak bisa kuucapkan dan dia menyaksikan banyak film dokumenter tentang kemarahan politik. Aku sudah pasti tidak akan berdebat dengannya.

 

Max tersenyum dan alisnya yang hitam menunjukkan keluhan. “Masih sama seperti minggu lalu.”.

 

"Bagaimana dengan band?" tanya Andy. "Tidakkah seorang eksekutif rekaman seharusnya datang di hari Jumat?"

 

Pacarku cemberut. Orang dari perusahaan rekaman tidak pernah muncul. Sebagai gantinya Max memberitahu Andi info terbaru tentang album Amphetamin yang akan datang sementara aku dan Nathan bertukar pandangan marah.  Tak diragukan, sekali lagi ayahku dikecewakan karena dia belum menemukan apapun untuk memberatkan Max. Selain masalah umur, tentu saja.

 

Yang menjadi alasan sebenarnya bagi orang tuaku untuk membenci Max.

 

Mereka benci bahwa aku tujuh belas dan Max dua puluh dua.

 

Tapi aku adalah seorang dengan keyakinan kuat menyangkut umur. Disamping itu selisih umur kami hanya lima tahun, jauh lebih sedikit  daripada perbedaan antara kedua orang tuaku. Meskipun tidak ada gunanya menunjukkan hal itu atau fakta bahwa umur Nathan sama dengan pacarku saat orang tuaku mulai berkencan. Ini hanya akan membuat mereka marah. "Aku mungkin seumuran dia tapi Andy sudah berumur tiga puluh," kata Nathan selalu. "Bukannya seorang remaja. Dan kami punya banyak pacar sebelumnya, pengalaman hidup yang berlimpah. Kau tidak bisa menarik kesimpulan untuk hal-hal seperti ini. Kau harus berhati-hati."

 

Tetapi mereka tidak ingat seperti apa menjadi muda dan  kasmaran. Tentu saja aku bisa menyimpulkan hal-hal seperti ini. Ketika seseorang itu adalah Max aku bodoh jika tidak melakukannya. Sahabat baikku berpikir hal seperti ini  menjadi sulit karena orang tuaku sangat kaku. Lagipula, bukankah seharusnya sepasang gay akan bersimpati dengan tawaran godaan dari pacar yang seksi dan agak berbahaya?

 

Jauh sekali dari kebenaran. Ini menyakitkan.

 

Bukan masalah bahwa aku adalah putri yang sempurna. Aku tidak minum ataupun mengonsumsi narkoba dan aku tidak pernah merokok sebatangpun. Aku belum menabrakkan mobil mereka-aku bahkan tidak bisa mengemudi, jadi mereka tidak membayar tarif ansuransi yang tinggi-dan aku memiliki pekerjaan yang layak. Aku mempunyai peringkat yang baik. Well, selain biologi, tapi secara prinsip aku menolak untuk membedah  janin bayi babi. Dan aku hanya memiliki satu lubang di masing-masing telinga dan tidak ada cat. Belum. Aku bahkan tidak malu untuk memeluk orang tuaku di tempat umum.

 

Kecuali waktu Nathan memakai sweatband saat dia berlari. Karena itu keterlaluan.

 

Aku membersikan piringku dari atas meja berharap untuk mempercepat semuanya.  Hari ini Max mengajak ke tempat favoritku yaitu Japanese Tea Garden, lalu dia akan mengantarkanku  ke tempat kerja untuk shift malamku. Dan semoga diantara pemberhentian, kami akan menghabiskan waktu yang berkualitas bersama di dalam Chevi Impala '64 miliknya.

 

Aku bersandar di meja dapur membayangkan mobil Max.

 

“Aku hanya terkejut dia tidak memakai kimononya," kata Nathan.

 

"Apa?" Aku benci ketika aku sedang bengong dan menyadari orang-orang  sedang membicarakanku.

 

"Piyama China ke Kebun Teh Jepang?" lanjutnya, menunjuk bawahan sutra merahku. "Apa yang akan dipikirkan orang-orang?"

 

Aku tidak percaya fashion. Aku percaya kostum. Hidup terlalu singkat untuk menjadi orang yang sama tiap hari. Aku memutar mataku untuk menunjukkan pada Max bahwa aku menyadari orang tuaku sedang bertindak menyedihkan.

 

"Waria kecil kami.

 

"Ini baju baru." Aku merebut piringnya dan membuang sisa brunch ke dalam mangkuk Betsy.  Matanya  mengecil dan dia menghisap wafflenya dengan satu gigitan anjing yang besar

 

Nama lengkap Betsy adalah Heavens to Betsy dan kami menyelamatkannya dari pengontrol binatang beberapa tahun lalu.  Dia adalah seekor anjing kampung, dibesarkan seperti seekor golden retriever tapi berwarna hitam. Aku ingin seekor anjing hitam karena  Andy pernah mengkliping artikel di majalah-dia selalu mengkliping artikel, biasanya tentang remaja yang sekarat karena over dosis atau tertular sipilis atau hamil dan drop out dari sekolah-mengenai bagaimana anjing berwarna hitam selalu menjadi yang paling terakhir diadopsi dari tempat penampungan, oleh karena itu lebih memungkinkan untuk terlantar.

 

"Lola."Andi memasang wajah seriusnya. "Aku belum selesai."

 

"Kalau begitu ambillah piring baru."

 

"Lola," kata Nathan, dan aku memberi Andi sebuah piring bersih. Aku takut mereka mengubah hal ini menjadi Sesuatu di depan Max saat melihat Betsy merengek untuk mendapatkan waffle lagi.

 

“Tidak, " aku memberitahunya.

 

"Apa kau sudah mengajaknya berjalan-jalan hari ini?" tanya Nathan padaku.

 

"Tidak, Andy yang melakukannya."

 

"Sebelum aku mulai memasak,"sahut Andi."Dia siap untuk jalan-jalan lagi."

 

"Mengapa kau tidak mengajaknya jalan-jalan sementara kami menyelesaikannya dengan Max?" tanya Nathan. Perintah yang lain, bukan sebuah permintaan.

 

"Aku menatap sekilas pada Max dan dia memejamkan matanya seperti tidak percaya mereka akan melakukan trik seperti ini lagi."Tapi. Dad-"

 

"Tak ada tapi, kau yang menginginkan anjing, kau yang mengajaknya jalan-jalan."

 

Itu adalah salah satu slogan Nathan yang paling menyebalkan. Heaven to Betsy seharusnya milikku, tapi dengan lancang dia malah jatuh cinta pada Nathan yang membuat aku dan Andy jengkel tiada akhir. Kami adalah yang memberinya makan dan mengajaknya jalan-jalan.  Aku meraih biodegradable baggies dan tali pengikatnya-yang kusulam dengan hati boneka jaring Rusia-dan dia sudah mengamuk. "Yeah, yeah. Ayolah."

 

Aku memberi Max tatapan permintaan maaf yang lain lalu aku dan Betsy keluar.

 

Ada dua puluh satu tangga dari beranda menuju jalan trotoar. Kemanapun kau pergi di San Fransisco kau harus berurusan dengan tangga dan bukit.  Cuaca diluar terasa hangat, jadi bersama dengan bawahan piyama dan gelang Bakelite aku mengenakan tank top. Aku juga memakai kaca mata besar putih Jackie O, wig panjang berwarna brunete dengan zamrud di ujung-ujungnya dan sandal balet hitam. Sandal balet yang asli bukan hanya datar yang kelihatan seperti sandal balet.

 

Resolusi tahun baruku adalah untuk tidak lagi memakai pakaian yang sama dua kali.

 

Sinar matahari terasa menyenangkan di pundakku. Tidak masalah bahwa sekarang ini Agustus, dikarenakan teluk, suhunya tidak banyak berubah sepanjang tahun. Akan selalu dingin. Aku bersyukur dengan cuaca yang tak biasa hari ini karena ini berarti aku tidak harus memakai sweater untuk kencan.

 

Betsy kencing di rumput  persegi panjang kecil-kecil di sebelah rumah-dia selalu kencing di sini yang kusetujui sepenuhnya-dan kami berlalu. Kendatipun orangtuaku menyebalkan, aku bahagia.  Aku memiliki sebuah kencan romantis dengan pacarku, jadwal yang baik dengan partner kerja favoritku dan seminggu lagi liburan musim panas. 

 

Kami mendaki dan menuruni bukit yang besar yang memisahkan jalan rumahku dari taman.  Ketika kami tiba, seorang pria korea dengan pakaian olahraga beludru menyapa kami. Dia sedang melakukan tai chi di antara pohon-pohon palm. “Hello, Dolores! Bagaiman ulang tahunmu?" Mr. Lim adalah satu-satunya orang selain orang tuaku (saat mereka marah)  yang memanggilku dengan nama asli. Anak perempuannya, Lindsey adalah sahabat baikku: mereka tinggal di beberapa jalan di atas.

 

"Hai, Mr. Lim. Ulangtahun saya baik!"  Ulangtahunku adalah minggu lalu.  Dan menjadi yang paling awal dari siapapun  di angkatanku yang mana aku menyukainya.  Hal tersebut memberi tambahan aura kedewasaan padaku. "Bagaimana dengan restauran?"

 

"Berjalan dengan baik, terima kasih. Semua orang meminta daging galbi minggu ini. Sampai jumpa Dolores! Salam untuk orang tuamu."

 

Nama wanita tua diberikan karena aku dinamai setelah yang satunya. Nenek buyutku Dolores Deeks meninggal beberapa tahun sebelum aku lahir.  Dia adalah nenek Andy dan dia menakjubkan.  Jenis wanita yang mengenakan topi bulu dan berbaris dalam protes-protes menuntut hak-hak  penduduk.  Dolores adalah orang pertama yang di datangi Andy.  Dia berumur tiga belas saat itu. Mereka sangat dekat dan ketika dia meninggal dia meninggalkan sebuah rumah untuk Andy. Itu adalah rumah di mana kami tinggal, rumah bergaya Victorian bercat hijau mint milik nenek buyut Dolores yang terletak di district Castro.

 

Yang kami tidak akan pernah mampu untuk membelinya tanpa wasiatnya yang murah hati.  Orang tuaku menganut kehidupan sehat tapi tidak seperti para tetangga.  Rumah-rumah yang terawat di jalan kami dengan dekorasi cornice yang runcing semuanya berasal dari uang lama. Termasuk rumah lavender di sebelah.

 

Aku juga berbagi nama dengan taman ini, Mission Dolores. Itu bukanlah sebuah kebetulan.  Nenek buyut Dolores diberi nama setelah misi terdekat yang dinamai dari sebuah sungai kecil  bernama Arroyo de Nuestra Senora de los Dolores. Yang artinya Sungai airmata Nyonya Kami.  Sebab siapa yang ingin dinamai dengan tubuh depresi dari air?  Ada juga sebuah jalan besar disekitar sini yang disebut Dolores. Aneh.

 

Aku lebih senang dipanggil Lola

 

Heavens to  Betsy selesai dan kami menuju rumah.   Kuharap orang tuaku tidak sedang menyiksa Max. Untuk seseorang yang kurang ajar di panggung, dia sebenarnya tertutup dan pertemuan mingguan ini tidak mudah baginya. "Kupikir berurusan dengan satu ayah sudah cukup buruk,"katanya suatu kali."Tapi dua?" Ayahmu akan menjadi kematianku, Lo."

 

Sebuah truk menderu melintas, dan ini aneh, karena tiba-tiba saja-secepat itu- suasana hatiku digantikan oleh kegelisahan. Kami mempercepat langkah.  Max pasti lebih dari tidak nyaman sekarang ini. Aku tidak bisa menjelaskannya tetapi semakin dekat dengan rumah aku merasa semakin buruk. Sebuah skenario mengerikan melintas di pikiranku: orangtuaku, begitu tak kenal lelah dengan pertanyaan-pertanyaan  membuat Max memutuskan bahwa aku tidak layak lagi. 

 

Harapanku adalah suatu hari nanti ketika kami telah bersama lebih lama dari satu musim panas, orangtuaku akan menyadari bahwa dialah orangnya, dan umur tidak akan menjadi masalah lagi. Tapi kendatipun mereka tidak mampu melihat kebenaran itu sekarang, mereka tidaklah bodoh. Mereka setuju dengan Max karena mereka pikir jika mereka melarangku untuk menemuinya kami hanya akan kabur bersama. Aku akan pindah ke apartemennya dan mendapatkan pekerjaan sebagai penari telanjang atau dealing acid.

 

Yang tentu saja melampaui batas.

 

Aku sekarang berlari, membawa Betsy menuruni bukit.  Ada sesuatu yang salah. Dan aku yakin itu terjadi-bahwa Max telah pergi atau orangtuaku memojokkannya dalam argumen yang panas, hidupnya yang tidak punya tujuan-ketika aku mencapai jalanku, semuanya tersambung.

 

Truk pindahan

 

Bukan brunch

 

Truk pindahan

 

Tapi aku yakin truk itu milik penyewa yang lain. Harus, dan selalu begitu.  Keluarga terakhir, pasangan yang beraroma seperti bayi Swiss dan mengoleksi keanehan medis seperti ginjal keriput yang dikeringkan dan model vagina yang terlalu besar, pindah seminggu yang lalu.  Sepanjang dua tahun ini ada rentetan para penyewa dan setiap kali seseorang pindah aku tidak bisa menahan sakit hingga penyewa yang baru datang.

 

Karena bagaimana jika saat ini adalah saatnya bagi mereka untuk kembali?

 

Aku memperlambat langkah agar bisa melihat lebih baik ke truk. Apa ada seseorang di luar? Aku tidak melihat sebuah mobil yang terparkir di garasi saat lewat beberapa waktu lalu, tapi aku telah membuat sebuah kebiasaaan untuk tidak menatap ke rumah sebelah. Cukup yakin, ada dua orang didepan di sisi jalan. 

Aku melebarkan mata dan menemukan, dengan campuran kegelisahaan dan kelegaan bahwa itu hanya petugas pindahan.  Betsy menyentak tali pengikatnya dan aku melangkah lagi.

 

Aku yakin tak ada yang harus di khawatirkan. Apa peluangnya.

 

Kecuali....selalu ada peluang. Petugas pindahan mengangkat sebuah sofa putih dari belakang truk dan jantungku berdebar lebih keras. Apakah aku mengenalinya? Apakah aku pernah duduk di kursi yang menyenangkan itu sebelumbya?  Tapi tidak. Aku tidak tahu. Aku mengintip ke dalam truk yang penuh sesak itu mencari apapun yang familiar dan aku menjumpai tumpukan perabot yang sangat modern yang belum pernah kulihat sebelumnya.

 

Bukan mereka. Tidak mungkin mereka.

 

Bukan mereka.

 

Aku menyeringai lebar-sebuah senyuman bodoh yang membuatku tampak seperti seorang bocah yang normalnya aku tidak mengijinkan diriku untuk melakukannya- dan melambai pada petugas pindahan. Mereka bersungut-sungut dan balas mengangguk. Pintu garasi rumah lavender terbuka dan sekarang aku  yakin bukan itu sebelumnya.  Aku memeriksa mobil dan keyakinanku semakin dalam. Itu mobil yang ringkas berwarna perak dan aku tidak mengenalinya.

 

Selamat. Sekali  lagi. Hari ini hari yang bahagia.

 

Aku dan Betsy terikat di dalam. " Brunch selesai. Ayo Max."

 

Semua orang sedang memandang keluar jendela depan ruang tamu kami.

 

"Sepertinya kita punya tetangga lagi," kataku.

 

Andy terlihat terkejut dengan keceriaan dalam suaraku. Kami belum pernah membicarakannya, tapi dia tahu sesuatu terjadi di sana dua tahun lalu. Dia tahu bahwa aku khawatir dengan kembalinya mereka, bahwa aku resah dengan setiap  hari kepindahan.

 

"Apa?" Aku kembali menyeringai, tapi kemudian menghentikan diriku sendiri sadar akan keberadaan Max. Aku berbicara lebih pelan.

 

"Uh, Lo? Kau tidak melihat mereka secara kebetulan?"

 

Kepedulian Andy terasa menyentuh. Aku melepaskan tali pengekang Betsy dan  menyikatnya di dapur.  Bertujuan untuk mempercepat pagi dan mendapatkan kencanku, aku memindahkan sisa piring-piring dari meja menuju  bak cuci piring. "Nope." Aku tertawa. "Apakah mereka mempunyai vagina plastik lainnya? Boneka jerapah? Baju zirah abad pertengahan-apa?"

 

Mereka bertiga menatapku.

 

Tenggorokanku tercekat."Apa itu?"

 

Max memeriksaku dengan rasa ingin tahu yang tidak biasa. "Orang tuamu bilang kau mengenal keluarga ini."

 

No. NO.

 

Seseorang sedang mengatakan sesuatu yang lain tapi aku tidak bisa mendengarnya.  Kakiku membawa tubuhku menuju jendela sementara otakku berteriak menyuruh kembali. Tidak mungkin mereka! Itu bukan furniture mereka. Itu bukan mobil mereka. Tapi orang membeli barang-barang baru. Mataku terpaku ke rumah sebelah saat sesosok tubuh muncul di beranda. Piring-piring di tanganku-mengapa akau masih memegang piring?-jatuh pecah dilantai.

 

Karena disanalah ia.

 

Calliope Bell


Tidak ada komentar:

Posting Komentar