Rabu, 05 Agustus 2020

LOLA AND THE BOY NEXT DOOR (By Stephanie Perkins ) #Chapter One

sumber : internet

Aku mempunyai tiga permintaan sederhana. Semuanya bukan permintaan yang berlebihan.

 

Yang pertama adalah menghadiri gaun musim dingin resmi layaknya Marie Antoinette.  Aku ingin sebuah wig yang rumit yang bisa mengandangkan seekor burung dan sebuah gaun yang sangat lebar sehingga aku hanya bisa masuk ruang dansa melalui pintu ganda.  Tapi aku akan mengangkat rokku tinggi-tinggi  saat datang untuk menunjukkan sepasang  sepatu panggung tempur hingga semua orang bisa melihat bahwa dibawah rok yang berjumbai-jumbai aku adalah seorang punk-rock yang tangguh.

 

Yang kedua adalah orangtuaku menyetujui hubunganku dengan pacarku.  Mereka membencinya. Mereka membenci rambutnya yang memutih dengan akar yang tetap gelap dan mereka benci tangannya yang bertato bergambar lengan  jaring laba-laba dan bintang.  Menurut mereka bulumatanya tampak merendahkan dan senyumnya lebih dibuat-buat.  Dan mereka tersiksa mendengarkan musiknya yang membahana dari kamarku, dan mereka lelah bertengkar mengenai jam malam kapanpun aku menyaksikan bandnya bermain di klub.

 

Dan permintaanku yang ketiga?

 

Untuk tidak-tidak-tidak pernah lagi bertemu dengan si kembar Bell lagi. Jangan pernah.

 

Tetapi aku lebih suka berdiskusi tentang pacarku. Aku menyadari bahwa menginginkan persetujuan orang tuaku bukanlah sesuatu yang keren, tapi jujur saja, hidupku akan lebih mudah jika mereka menerima bahwa Maxlah orangnya.  Ini berarti akhir dari pembatasan yang memalukan, akhir dari pengecekan setiap-jam-setiap telepon untuk kencan kami dan yang terbaik dari semuanya adalah berakhirnya brunch di hari Minggu.

 

Berakhirnya pagi seperti ini.

 

"Tambah wafflenya Max?"

 

Ayahku, Nathan, mendorong tumpukan keemasan itu ke pacarku, menyeberangi meja pertanian kami yang antik.  Itu bukanlah pertanyaan yang sebenarnya. Itu adalah sebuah perintah sehingga orangtuaku bisa melanjutkan interogasi mereka sebelum kami pergi.  Penghargaan yang kuterima untuk menghadapi brunch?  Kencan minggu siang yang lebih santai dengan lebih sedikit pengecekan

 

Max mengambil dua dan menuangkan untuk dirinya sendiri sirup raspbery peach.  "Terimakasih, sir. Mengagumkan seperti biasa." Dia menuangkan sirup dengan hati-hati, satu tetes untuk setiap kotaknya.  Terlepas dari penampilannya, Max  pada dasarnya berhati-hati. Itulah sebabnya dia tidak pernah minum ataupun mengisap ganja pada Sabtu malam. Dia tidak ingin datang untuk brunch dengan terlihat mabuk yang mana tentu saja itu adalah hal yang  sedang diawasi oleh orangtuaku. Bukti dari penyelewengan.

 

"Terimakasih Andy." Nathan menyentakkan kepalanya kepada ayahku yang lain, yang menjalankan toko pie di luar rumah. "Dia yang membuatnya."

 

"Lezat. Terimakasih sir." Max tidak pernah kehilangan sebuah pukulan. "Lola, apakah kau sudah selesai?"

 

Aku meregang, dan gelang-gelang Bakelit berukuran tujuh inci di pergelangan kananku saling berbenturan.  "Yeah, seperti dua puluh menit yang lalu. Ayo," aku menoleh dan memohon pada Andy, kandidat yang paling besar kemungkinannya untuk membiarkan kami pergi. "Bolehkan kami pergi sekarang?"

 

Dia mengerjapkan matanya dengan polos. "Mau nambah jus jeruk?Frittata?"

 

"Tidak" Aku berjuang dari keterpurukan. Terpuruk itu tidak menarik.

 

Nathan menusuk waffle yang lain. "Jadi. Max. Bagaimana pembacaan meter dunia berjalan?"

 

Saat Max tidak sedang menjadi dewa rock punk indie, dia bekerja untuk City of San Fransisco.  Hal itu membuat Nathan dongkol bahwa Max tidak tertarik untuk kuliah.  Tetapi apa yang tidak dipahami oleh ayahku adalah bahwa Max itu sebenarnya brilliant. Dia membaca buku filosofi yang rumit yang ditulis oleh orang yang namanya tidak bisa kuucapkan dan dia menyaksikan banyak film dokumenter tentang kemarahan politik. Aku sudah pasti tidak akan berdebat dengannya.

 

Max tersenyum dan alisnya yang hitam menunjukkan keluhan. “Masih sama seperti minggu lalu.”.

 

"Bagaimana dengan band?" tanya Andy. "Tidakkah seorang eksekutif rekaman seharusnya datang di hari Jumat?"

 

Pacarku cemberut. Orang dari perusahaan rekaman tidak pernah muncul. Sebagai gantinya Max memberitahu Andi info terbaru tentang album Amphetamin yang akan datang sementara aku dan Nathan bertukar pandangan marah.  Tak diragukan, sekali lagi ayahku dikecewakan karena dia belum menemukan apapun untuk memberatkan Max. Selain masalah umur, tentu saja.

 

Yang menjadi alasan sebenarnya bagi orang tuaku untuk membenci Max.

 

Mereka benci bahwa aku tujuh belas dan Max dua puluh dua.

 

Tapi aku adalah seorang dengan keyakinan kuat menyangkut umur. Disamping itu selisih umur kami hanya lima tahun, jauh lebih sedikit  daripada perbedaan antara kedua orang tuaku. Meskipun tidak ada gunanya menunjukkan hal itu atau fakta bahwa umur Nathan sama dengan pacarku saat orang tuaku mulai berkencan. Ini hanya akan membuat mereka marah. "Aku mungkin seumuran dia tapi Andy sudah berumur tiga puluh," kata Nathan selalu. "Bukannya seorang remaja. Dan kami punya banyak pacar sebelumnya, pengalaman hidup yang berlimpah. Kau tidak bisa menarik kesimpulan untuk hal-hal seperti ini. Kau harus berhati-hati."

 

Tetapi mereka tidak ingat seperti apa menjadi muda dan  kasmaran. Tentu saja aku bisa menyimpulkan hal-hal seperti ini. Ketika seseorang itu adalah Max aku bodoh jika tidak melakukannya. Sahabat baikku berpikir hal seperti ini  menjadi sulit karena orang tuaku sangat kaku. Lagipula, bukankah seharusnya sepasang gay akan bersimpati dengan tawaran godaan dari pacar yang seksi dan agak berbahaya?

 

Jauh sekali dari kebenaran. Ini menyakitkan.

 

Bukan masalah bahwa aku adalah putri yang sempurna. Aku tidak minum ataupun mengonsumsi narkoba dan aku tidak pernah merokok sebatangpun. Aku belum menabrakkan mobil mereka-aku bahkan tidak bisa mengemudi, jadi mereka tidak membayar tarif ansuransi yang tinggi-dan aku memiliki pekerjaan yang layak. Aku mempunyai peringkat yang baik. Well, selain biologi, tapi secara prinsip aku menolak untuk membedah  janin bayi babi. Dan aku hanya memiliki satu lubang di masing-masing telinga dan tidak ada cat. Belum. Aku bahkan tidak malu untuk memeluk orang tuaku di tempat umum.

 

Kecuali waktu Nathan memakai sweatband saat dia berlari. Karena itu keterlaluan.

 

Aku membersikan piringku dari atas meja berharap untuk mempercepat semuanya.  Hari ini Max mengajak ke tempat favoritku yaitu Japanese Tea Garden, lalu dia akan mengantarkanku  ke tempat kerja untuk shift malamku. Dan semoga diantara pemberhentian, kami akan menghabiskan waktu yang berkualitas bersama di dalam Chevi Impala '64 miliknya.

 

Aku bersandar di meja dapur membayangkan mobil Max.

 

“Aku hanya terkejut dia tidak memakai kimononya," kata Nathan.

 

"Apa?" Aku benci ketika aku sedang bengong dan menyadari orang-orang  sedang membicarakanku.

 

"Piyama China ke Kebun Teh Jepang?" lanjutnya, menunjuk bawahan sutra merahku. "Apa yang akan dipikirkan orang-orang?"

 

Aku tidak percaya fashion. Aku percaya kostum. Hidup terlalu singkat untuk menjadi orang yang sama tiap hari. Aku memutar mataku untuk menunjukkan pada Max bahwa aku menyadari orang tuaku sedang bertindak menyedihkan.

 

"Waria kecil kami.

 

"Ini baju baru." Aku merebut piringnya dan membuang sisa brunch ke dalam mangkuk Betsy.  Matanya  mengecil dan dia menghisap wafflenya dengan satu gigitan anjing yang besar

 

Nama lengkap Betsy adalah Heavens to Betsy dan kami menyelamatkannya dari pengontrol binatang beberapa tahun lalu.  Dia adalah seekor anjing kampung, dibesarkan seperti seekor golden retriever tapi berwarna hitam. Aku ingin seekor anjing hitam karena  Andy pernah mengkliping artikel di majalah-dia selalu mengkliping artikel, biasanya tentang remaja yang sekarat karena over dosis atau tertular sipilis atau hamil dan drop out dari sekolah-mengenai bagaimana anjing berwarna hitam selalu menjadi yang paling terakhir diadopsi dari tempat penampungan, oleh karena itu lebih memungkinkan untuk terlantar.

 

"Lola."Andi memasang wajah seriusnya. "Aku belum selesai."

 

"Kalau begitu ambillah piring baru."

 

"Lola," kata Nathan, dan aku memberi Andi sebuah piring bersih. Aku takut mereka mengubah hal ini menjadi Sesuatu di depan Max saat melihat Betsy merengek untuk mendapatkan waffle lagi.

 

“Tidak, " aku memberitahunya.

 

"Apa kau sudah mengajaknya berjalan-jalan hari ini?" tanya Nathan padaku.

 

"Tidak, Andy yang melakukannya."

 

"Sebelum aku mulai memasak,"sahut Andi."Dia siap untuk jalan-jalan lagi."

 

"Mengapa kau tidak mengajaknya jalan-jalan sementara kami menyelesaikannya dengan Max?" tanya Nathan. Perintah yang lain, bukan sebuah permintaan.

 

"Aku menatap sekilas pada Max dan dia memejamkan matanya seperti tidak percaya mereka akan melakukan trik seperti ini lagi."Tapi. Dad-"

 

"Tak ada tapi, kau yang menginginkan anjing, kau yang mengajaknya jalan-jalan."

 

Itu adalah salah satu slogan Nathan yang paling menyebalkan. Heaven to Betsy seharusnya milikku, tapi dengan lancang dia malah jatuh cinta pada Nathan yang membuat aku dan Andy jengkel tiada akhir. Kami adalah yang memberinya makan dan mengajaknya jalan-jalan.  Aku meraih biodegradable baggies dan tali pengikatnya-yang kusulam dengan hati boneka jaring Rusia-dan dia sudah mengamuk. "Yeah, yeah. Ayolah."

 

Aku memberi Max tatapan permintaan maaf yang lain lalu aku dan Betsy keluar.

 

Ada dua puluh satu tangga dari beranda menuju jalan trotoar. Kemanapun kau pergi di San Fransisco kau harus berurusan dengan tangga dan bukit.  Cuaca diluar terasa hangat, jadi bersama dengan bawahan piyama dan gelang Bakelite aku mengenakan tank top. Aku juga memakai kaca mata besar putih Jackie O, wig panjang berwarna brunete dengan zamrud di ujung-ujungnya dan sandal balet hitam. Sandal balet yang asli bukan hanya datar yang kelihatan seperti sandal balet.

 

Resolusi tahun baruku adalah untuk tidak lagi memakai pakaian yang sama dua kali.

 

Sinar matahari terasa menyenangkan di pundakku. Tidak masalah bahwa sekarang ini Agustus, dikarenakan teluk, suhunya tidak banyak berubah sepanjang tahun. Akan selalu dingin. Aku bersyukur dengan cuaca yang tak biasa hari ini karena ini berarti aku tidak harus memakai sweater untuk kencan.

 

Betsy kencing di rumput  persegi panjang kecil-kecil di sebelah rumah-dia selalu kencing di sini yang kusetujui sepenuhnya-dan kami berlalu. Kendatipun orangtuaku menyebalkan, aku bahagia.  Aku memiliki sebuah kencan romantis dengan pacarku, jadwal yang baik dengan partner kerja favoritku dan seminggu lagi liburan musim panas. 

 

Kami mendaki dan menuruni bukit yang besar yang memisahkan jalan rumahku dari taman.  Ketika kami tiba, seorang pria korea dengan pakaian olahraga beludru menyapa kami. Dia sedang melakukan tai chi di antara pohon-pohon palm. “Hello, Dolores! Bagaiman ulang tahunmu?" Mr. Lim adalah satu-satunya orang selain orang tuaku (saat mereka marah)  yang memanggilku dengan nama asli. Anak perempuannya, Lindsey adalah sahabat baikku: mereka tinggal di beberapa jalan di atas.

 

"Hai, Mr. Lim. Ulangtahun saya baik!"  Ulangtahunku adalah minggu lalu.  Dan menjadi yang paling awal dari siapapun  di angkatanku yang mana aku menyukainya.  Hal tersebut memberi tambahan aura kedewasaan padaku. "Bagaimana dengan restauran?"

 

"Berjalan dengan baik, terima kasih. Semua orang meminta daging galbi minggu ini. Sampai jumpa Dolores! Salam untuk orang tuamu."

 

Nama wanita tua diberikan karena aku dinamai setelah yang satunya. Nenek buyutku Dolores Deeks meninggal beberapa tahun sebelum aku lahir.  Dia adalah nenek Andy dan dia menakjubkan.  Jenis wanita yang mengenakan topi bulu dan berbaris dalam protes-protes menuntut hak-hak  penduduk.  Dolores adalah orang pertama yang di datangi Andy.  Dia berumur tiga belas saat itu. Mereka sangat dekat dan ketika dia meninggal dia meninggalkan sebuah rumah untuk Andy. Itu adalah rumah di mana kami tinggal, rumah bergaya Victorian bercat hijau mint milik nenek buyut Dolores yang terletak di district Castro.

 

Yang kami tidak akan pernah mampu untuk membelinya tanpa wasiatnya yang murah hati.  Orang tuaku menganut kehidupan sehat tapi tidak seperti para tetangga.  Rumah-rumah yang terawat di jalan kami dengan dekorasi cornice yang runcing semuanya berasal dari uang lama. Termasuk rumah lavender di sebelah.

 

Aku juga berbagi nama dengan taman ini, Mission Dolores. Itu bukanlah sebuah kebetulan.  Nenek buyut Dolores diberi nama setelah misi terdekat yang dinamai dari sebuah sungai kecil  bernama Arroyo de Nuestra Senora de los Dolores. Yang artinya Sungai airmata Nyonya Kami.  Sebab siapa yang ingin dinamai dengan tubuh depresi dari air?  Ada juga sebuah jalan besar disekitar sini yang disebut Dolores. Aneh.

 

Aku lebih senang dipanggil Lola

 

Heavens to  Betsy selesai dan kami menuju rumah.   Kuharap orang tuaku tidak sedang menyiksa Max. Untuk seseorang yang kurang ajar di panggung, dia sebenarnya tertutup dan pertemuan mingguan ini tidak mudah baginya. "Kupikir berurusan dengan satu ayah sudah cukup buruk,"katanya suatu kali."Tapi dua?" Ayahmu akan menjadi kematianku, Lo."

 

Sebuah truk menderu melintas, dan ini aneh, karena tiba-tiba saja-secepat itu- suasana hatiku digantikan oleh kegelisahan. Kami mempercepat langkah.  Max pasti lebih dari tidak nyaman sekarang ini. Aku tidak bisa menjelaskannya tetapi semakin dekat dengan rumah aku merasa semakin buruk. Sebuah skenario mengerikan melintas di pikiranku: orangtuaku, begitu tak kenal lelah dengan pertanyaan-pertanyaan  membuat Max memutuskan bahwa aku tidak layak lagi. 

 

Harapanku adalah suatu hari nanti ketika kami telah bersama lebih lama dari satu musim panas, orangtuaku akan menyadari bahwa dialah orangnya, dan umur tidak akan menjadi masalah lagi. Tapi kendatipun mereka tidak mampu melihat kebenaran itu sekarang, mereka tidaklah bodoh. Mereka setuju dengan Max karena mereka pikir jika mereka melarangku untuk menemuinya kami hanya akan kabur bersama. Aku akan pindah ke apartemennya dan mendapatkan pekerjaan sebagai penari telanjang atau dealing acid.

 

Yang tentu saja melampaui batas.

 

Aku sekarang berlari, membawa Betsy menuruni bukit.  Ada sesuatu yang salah. Dan aku yakin itu terjadi-bahwa Max telah pergi atau orangtuaku memojokkannya dalam argumen yang panas, hidupnya yang tidak punya tujuan-ketika aku mencapai jalanku, semuanya tersambung.

 

Truk pindahan

 

Bukan brunch

 

Truk pindahan

 

Tapi aku yakin truk itu milik penyewa yang lain. Harus, dan selalu begitu.  Keluarga terakhir, pasangan yang beraroma seperti bayi Swiss dan mengoleksi keanehan medis seperti ginjal keriput yang dikeringkan dan model vagina yang terlalu besar, pindah seminggu yang lalu.  Sepanjang dua tahun ini ada rentetan para penyewa dan setiap kali seseorang pindah aku tidak bisa menahan sakit hingga penyewa yang baru datang.

 

Karena bagaimana jika saat ini adalah saatnya bagi mereka untuk kembali?

 

Aku memperlambat langkah agar bisa melihat lebih baik ke truk. Apa ada seseorang di luar? Aku tidak melihat sebuah mobil yang terparkir di garasi saat lewat beberapa waktu lalu, tapi aku telah membuat sebuah kebiasaaan untuk tidak menatap ke rumah sebelah. Cukup yakin, ada dua orang didepan di sisi jalan. 

Aku melebarkan mata dan menemukan, dengan campuran kegelisahaan dan kelegaan bahwa itu hanya petugas pindahan.  Betsy menyentak tali pengikatnya dan aku melangkah lagi.

 

Aku yakin tak ada yang harus di khawatirkan. Apa peluangnya.

 

Kecuali....selalu ada peluang. Petugas pindahan mengangkat sebuah sofa putih dari belakang truk dan jantungku berdebar lebih keras. Apakah aku mengenalinya? Apakah aku pernah duduk di kursi yang menyenangkan itu sebelumbya?  Tapi tidak. Aku tidak tahu. Aku mengintip ke dalam truk yang penuh sesak itu mencari apapun yang familiar dan aku menjumpai tumpukan perabot yang sangat modern yang belum pernah kulihat sebelumnya.

 

Bukan mereka. Tidak mungkin mereka.

 

Bukan mereka.

 

Aku menyeringai lebar-sebuah senyuman bodoh yang membuatku tampak seperti seorang bocah yang normalnya aku tidak mengijinkan diriku untuk melakukannya- dan melambai pada petugas pindahan. Mereka bersungut-sungut dan balas mengangguk. Pintu garasi rumah lavender terbuka dan sekarang aku  yakin bukan itu sebelumnya.  Aku memeriksa mobil dan keyakinanku semakin dalam. Itu mobil yang ringkas berwarna perak dan aku tidak mengenalinya.

 

Selamat. Sekali  lagi. Hari ini hari yang bahagia.

 

Aku dan Betsy terikat di dalam. " Brunch selesai. Ayo Max."

 

Semua orang sedang memandang keluar jendela depan ruang tamu kami.

 

"Sepertinya kita punya tetangga lagi," kataku.

 

Andy terlihat terkejut dengan keceriaan dalam suaraku. Kami belum pernah membicarakannya, tapi dia tahu sesuatu terjadi di sana dua tahun lalu. Dia tahu bahwa aku khawatir dengan kembalinya mereka, bahwa aku resah dengan setiap  hari kepindahan.

 

"Apa?" Aku kembali menyeringai, tapi kemudian menghentikan diriku sendiri sadar akan keberadaan Max. Aku berbicara lebih pelan.

 

"Uh, Lo? Kau tidak melihat mereka secara kebetulan?"

 

Kepedulian Andy terasa menyentuh. Aku melepaskan tali pengekang Betsy dan  menyikatnya di dapur.  Bertujuan untuk mempercepat pagi dan mendapatkan kencanku, aku memindahkan sisa piring-piring dari meja menuju  bak cuci piring. "Nope." Aku tertawa. "Apakah mereka mempunyai vagina plastik lainnya? Boneka jerapah? Baju zirah abad pertengahan-apa?"

 

Mereka bertiga menatapku.

 

Tenggorokanku tercekat."Apa itu?"

 

Max memeriksaku dengan rasa ingin tahu yang tidak biasa. "Orang tuamu bilang kau mengenal keluarga ini."

 

No. NO.

 

Seseorang sedang mengatakan sesuatu yang lain tapi aku tidak bisa mendengarnya.  Kakiku membawa tubuhku menuju jendela sementara otakku berteriak menyuruh kembali. Tidak mungkin mereka! Itu bukan furniture mereka. Itu bukan mobil mereka. Tapi orang membeli barang-barang baru. Mataku terpaku ke rumah sebelah saat sesosok tubuh muncul di beranda. Piring-piring di tanganku-mengapa akau masih memegang piring?-jatuh pecah dilantai.

 

Karena disanalah ia.

 

Calliope Bell


Rabu, 19 Desember 2018

ABSURD

Jakarta, setahun yang lalu.

Jadwal yang tertulis di tiket 19.45 Wib. 
Keluar dari kantor customer sekitar jam tiga sore. Masih cukup waktu. Lanjutin ngobrol sebentar dengan admin di lobby sambil pesen taxi online. Taxol datang langsung cus ke bandara. Jalanan lagi ramah, tidak terlalu padat dan macet meski jam pulang kantor. Nyampe Soetta sekitar jam lima. Masih longgar sampai jadwal keberangkatan. Duduk- duduk sebentar di depan AW sambil main hape. Terus kepikiran, daripada antri cek in di dalam mending cek in mandiri. Samperin mesin check in. Masukin kode booking. Reject. Ulangi lagi. Reject. Pencet lagi. Reject.
Ah, pasti rusak ini mesinnya. Tengok kanan kiri semuanya pada bisa keluar tiketnya. Nyoba mesin satunya. Reject. Satunya lagi. Reject. Duh, keki. Akhirnya nyerah masuk ke dalam dan check in manual di loket.
"Mba..ini boardingnya di Halim," kata mbak petugas ticketing.
JEDER!!!!! Kilat menyambar-nyambar di angkasa. Pantesan ditolak mulu sama mesin check in. Langsung kalap lari keluar dari ruang keberangkatan.
"Ke Halim pak. Berapa lama nyampe?" nodong pak taxi pertama yg menghampiri.
"Sejam-an kalau gak macet."
Tengok jam di hape. Pukul 17.56 WIB.
"GAS POLLL PAK. Gak pake nge-rem."
Pak taxi berjuang sekuat tenaga menaklukkan rute Soetta-Halim di the most hectic time ever. Turun di Halim jam 19.30 tet, langsung ngibrit ke dalam. Alhamdulillah wa syukurillah. Pesawatnya delay 30 menitan. Masih dapat kesempatan check in terakhir. Bisa pulang meski sport jantung sepanjang perjalanan Soetta-Halim.

Kutoarjo, hari ini (18 Desember 2018)

Pagi sebelum check out dari hotel sudah booking tiket kereta dari traveloka. Pilih jadwal jam 17.18 WIB supaya  punya waktu yang cukup dan leluasa buat nuntasin kerjaan. Jam 15.30 disepakati kerjaan beres (untuk hari ini, lain waktu dilanjutkan lagi wkwkwk..). Langsung cus ke stasiun, print ticket di counter, masuk peron sodorin ticket dan ktp ke petugas. Ngiiiing......, mesin scaner menjerit waktu ticket di tempelkan. Petugas peron melototin ticketnya.
"Mbak, ini buat besok. Tanggal 19."
NGOOKKK!!! Aku pengen nguntal scannere.
Oalah Jum..Jum. Sing mbok pikir opo pesen ticket tanggal 18 kok sing didudul 19.
Akhirnya melipir ke pojokan, pesen nasi ayam jumbo di CFC dengan hati yang gundah gulana. Alamat nginep neng stasiun.



Kamis, 23 November 2017

RED LOVE IN RED ISLAND

Sudah pukul empat sore lebih ketika mobil kami memasuki halaman homestay yang sudah kami pesan sebelumnya. Panjul Homestay namanya. Seorang perempuan muda berparas cantik dan berkulit kuning bersih menyambut kami di undakan teras dengan senyum lebar.
"Selamat datang, "sapanya ramah dan menyalami kami satu persatu sambil membantu mengeluarkan koper dan tas-tas kami dari dalam mobil. Ia mengenalkan diri sebagai Pipin, pemilik homestay Panjul.
"Kok sore sekali baru nyampe?" tanya mba Pipin.
"Iya mbak. Mampir-mampir mulu sepanjang jalan," sahut adik iparku.
Mbak Pipin memimpin kami masuk ke dalam homestay dan menunjukkan kamar-kamar yang akan kami tempati untuk menginap nanti malam. Aku menyerahkan sepenuhnya urusan pembagian kamar kepada adik iparku dan sibuk memotret serta mengamati suasana sekitar homestay.
Sesuai keterangan di iklannya, Panjul Homestay berada hampir nyaris di depan pintu masuk area wisata Pantai Pulo Merah. Hanya berjarak sekitar 20 meter. Disebelah kanan kirinya terdapat homestay lainnya. Yang sebelah kanan bernama Rina Homestay dan yang sebelah kiri aku lupa namanya. Tapi belakangan kuketahui rumah di sebelah kiri itu dijadikan mess karyawan perusahaan pertambangan emas yang beroperasi di bukit yang terletak di belakang Pulo Merah.
Gerbang Masuk area wisata Pantai Pulau Merah
picture : by myself
Didepan Panjul Homestay tepatnya di seberang jalan terdapat minimarket bernama AA Mart. Sepasang bule cowok dan cewek keluar dari dalam AA Mart, masing-masing menggenggam kaleng sprite sambil menyesapnya dan berbincang.
"Kita ke pantai sekarang. Ntar gak kebagian sunset," adik iparku tiba-tiba muncul dari dalam homestay dan menyeru kami untuk bergegas ke pantai.
"Tas dan koper udah pada masuk kamar ta?" timpal suaminya-adik laki-lakiku-dari samping rumah sehabis memarkir mobil di garasi homestay yang berada di halaman belakang.
"Alah. .itu belakangan aja. Yang penting kunci kamar udah di aku semua. Ayo buruan." Ia menghalau para keponakannya -ketiga anakku- untuk cepat cepat beranjak ke pantai diiringi oleh adikku di sampingnya. Aku mengekor di belakangnya untuk mengimbangi langkah ibuku sambil sesekali berswafoto.
Tidak sampai lima menit kaki-kaki kami sudah menjejak pasir putih pantai Pulo Merah. Pemandangan pertama yang menyambut kami adalah lukisan jingga dilangit yang seolah menyatu dengan laut, ditingkahi gumpalan-gumpalan awan putih yang cantik. Di tepi lukisan itu menjulang sebuah bukit yang dinamai Pulo Merah tetapi terlihat menghitam dari kejauhan. Seleret cahaya kuning milik sang surya menyembul dari balik awan seolah sedang mengucapkan perpisahan kepada siang untuk naik ke peraduan. Sungguh sebuah mahakarya yang luar biasa.
Jingga yang mempesona
picture : by myself



Pulau Merah yang menghitam dari kejauhan
picture : by myself
 Pantainya membentang luas, bersih dan pasir putihnya terasa lembut masuk di sela-sela jari kakiku yang telanjang. Angin senja yang basah menampar wajah kami. Dari kejauhan ombak bergulung-gulung menuju pantai kemudian pecah menjadi buih-buih kecil setelah menghantam pantai dan menyeret pasirnya ke laut. Sekelompok wisatawan asing yang sedang berselancar di sisi sebelah barat pantai dengan sabar menanti gulungan ombak berikutnya datang agar bisa menungganginya.
Kedua anak lelakiku segera saja sibuk mengabadikan apa saja yang bisa ditangkap oleh layar kamera hp mereka, sementara adiknya -anak perempuanku- bergaya sebagai modelnya. Sambil sesekali menggoda kedua kakak kembarnya dengan mendorong mereka menuju ombak yang melaju ke pantai.
Keadaan pantai sore itu tidak terlalu rame. Mungkin karena hari itu adalah hari Jumat dan bukan musim libur anak sekolah. Hanya tampak serombongan wisatawan lokal yang sibuk bergaya mengabadikan momen senja dan beberapa pasang muda-mudi yang bergandengan tangan menyusuri pantai. Aku duduk di pasir berdampingan dengan ibuku, adikku dan istrinya serta suami istri teman adikku yang tadi telah berbaik hati mengantarkan kami ke sini. Kami bercakap sambil membiarkan celana kami basah dibelai ombak yang menjangkau pantai. Sungguh, sebuah senja yang sempurna.
Menjelang maghrib kami meninggalkan eksotisme senja ini. Para wisatawan lain dan para peselancar juga berbondong meninggalkan pantai yang kian meremang dalam pelukan petang.
"Ntar malam cari makan di sini ya, " usul adikku ketika kami melewati deretan warung makanan sebelum keluar gerbang wisata. Dari banner yang dipasang beragam masakan yang dijual. Aneka penyetan, chinese food, bakso dan lain sebagainya.
"Boleh, " sahutku.
"Aku pengen baksonya aja, " timpal adik iparku yang memang seorang penggemar bakso garis keras.
"Habis isya aja nanti kalau mau keluar lagi cari makan, " usulku dan yang lainnya setuju.
Kami bergegas kembal ke homestay untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
Tas dan koper kami masih teronggok diruang tamu homestay saat kami kembali. Adik iparku segera membagikan kunci kamar dan menunjukkan kamar masing-masing. Aku, ibuku dan anak perempuanku mendapatkan kamar dengan tempat tidur yang paling besar di sebelah ruang tamu. Plus satu extra bed, karena kami bertiga. Si kembar menempati kamar di belakang ruang tamu, adikku dan istrinya di kamar sebelahnya lagi. Semua memiliki kamar mandi dalam kecuali kamar si kembar. Mereka akhirnya memilih untuk mandi di kamarku daripada menggunakan kamar mandi homestay yang terletak di sebelah dapur.
Kamarnya secara umum bersih dan rapi dilengkapi dengan AC, meja rias, cermin dan flat tv 21 inch. Tapi sayangnya kabel colokan untuk tv putus sehingga tv nya tidak bisa difungsikan. Berhubung kami hanya menginap satu malam dan tidak berniat menghabiskan waktu hanya di dalam kamar saja aku mengabaikan kondisi ini. Kamar mandinya kecil, khas hotel/penginapan yang padat dan efisien. Dilengkapi dengan toilet duduk, shower (normal water only), gantungan handuk dan centelan baju serta ember kecil penampung air. Ketika aku membuka dan menutup kembali pintu kamar mandi baru ketahuan kalau handlenya rusak dan tidak bisa dikunci. Tetapi masih bisa ditutup rapat dan aku kembali membiarkan kondisi ini mengingat letak kamar mandinya di dalam. Yang penting kamar mandinya bersih dan memang bersih.

Panjul Homestay tampak dari depan
picture : by Panjul Homestay


suasana ruang tamu dan kamar di Panjul Homestay
picture : by Panjul Homestay

Seperti yang sebelumnya direncanakan, selepas isya kami keluar mencari makan. Tapi hanya berempat dari kami yang pergi karena si kembar merasa masih kenyang dan memilih untuk berdiam di kamar sambil main gadget. Sementara ibuku mengeluh capek dan pusing jadi beliau minta dibungkuskan saja supaya bisa tidur.
Kami langsung menuju tempat deretan warung yang kami lewati sore tadi dan langsung menuai kekecewaan. Ternyata selepas maghrib warung-warung tersebut berhenti beroperasi. Termasuk rombong bakso yang tadi diincar adik iparku juga telah pergi meninggalkan lokasi membuatnya patah hati. Ada satu warung yang masih buka dan penuh dengan pelanggan bule yang kelihatannya sedang berpesta, tetapi adikku menolak masuk meskipun aku melihat masih ada beberapa bangku yang cukup untuk kami berempat. Kamipun keluar dari area wisata dan berjalan menuju arah sebaliknya berharap ada warung makanan lainnya, tapi hasilnya sama saja. Tidak mau berspekulasi dengan berjalan lebih jauh lagi akhirnya kami memutuskan membeli mie cup di AA mart dan beberapa cup kopi instan serta milo untuk anak perempuanku. Aku terpaksa membelikan ibuku mie cup juga karena tidak ada pilihan lain dan menyantapnya bersama-sama di bangku teras Panjul Homestay. Sementara dari balik kegelapan yang semakin memekat terdengar deburan ombak di pantai yang sesekali gemuruhnya terasa mengerikan. Kami berbincang di teras homestay hingga mata kami memaksa untuk segera naik peraduan.
*    *    *
Esok harinya, ibuku membangunkanku saat subuh. Ketika membuka mata kulihat beliau telah segar habis mandi dan tentu saja sudah sholat subuh. Kebiasaan baik yang susah menurun padaku, hiks.
"Cepetan sholat. Ibu mau jalan-jalan dulu di luar, " ucap beliau sambil menarik selimutku.
"Berani sendirian bu? Masih gelap lo,"jawabku sambil menguap mengusir kantuk.
"Apa juga yang harus ditakuti. Sudah sana sholat. Bangunin juga anakmu. "
Beliau lantas pergi menunaikan maksudnya dan aku bergegas untuk ambil air wudhu.
Butuh ekstra usaha untuk membuat anak-anak bangun di pagi hari. Setelah beberapa adegan tarik selimut dan tepukan di bokong serta beberapa gedoran pintu untuk si kembar barulah mereka bisa meninggalkan buaian mimpinya. Sambil menunggu anak-anak selesai sholat dan bersiap aku duduk-duduk di teras homestay. Adikku dan istrinya telah mengikuti jejak ibuku, berjalan-jalan entah kemana.
Udara pagi yang segar terhirup olehku. Suasana di luar homestay masih lengang dan gelap. Ombak pantai yang berdebur-debur terdengar jelas dari tempatku berada. Aku menyempatkan mengabadikan keremangan fajar itu dengan kembali memotret obyek yang sama dengan yang kupotret kemarin sore. Serombongan orang berseragam dengan safety vest berwarna kuning terang, mengenakan helm proyek, bersepatu boot dan bercelana jeans melintas didepanku. Ada seorang wanita di antara mereka. Sesaat kupikir mereka adalah life guard meskipun aku merasa agak janggal dengan atribut yang dikenakan. Namun kemudian sapaan seseorang dari halaman rumah sebelah homestay menjawab keherananku.
"Lagi liburan neng?" tanyanya sambil memanaskan mesin mobil. Jenis mobil offroad dengan bak terbuka di belakangnya. Bapak tersebut berpakaian sama dengan rombongan yang baru melintas tadi.
"Ya pak," jawabku mengiyakan. Lalu tanyaku, "Bapak life guard ya?"
Beliau menjawab dengan tawa. Begitu juga dengan teman di sebelahnya yang sedang menaikkan beberapa barang ke atas bak belakang mobil.
"Bukan neng. Kami pekerja tambang," jawabnya kemudian lalu menyebutkan nama sebuah perusahaan penambang emas.
Kami bercakap-cakap sebentar seputar pekerjaannya dan sebagai bonusnya aku memotret bapak tersebut tanpa terpikir untuk bertanya namanya #lol, bener-bener nggak kepikiran.
Anak perempuanku muncul dengan menggunakan hoodi dan memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua tangan.
"Mana kakakmu? " tanyaku.
"Tauk," jawabnya acuh.
Bergegas aku kembali ke kamar mereka hanya untuk menemukan kenyataan yang mengecewakan. Dua brondong yang baru kumisan itu menekuk lututnya masing-masing dan berbagi selimut untuk melanjutkan mimpinya. OMG.. kita ini piknik sodara, bukan pindah tidur. Setelah berdebat agak lama yang dibumbui dengan ancaman dan pemaksaan akupun menyerah dan meninggalkan mereka.
"Ntar aku nyusul," teriak salah satu dari mereka dari balik selimut. Whatever, sungutku kesal sambil menarik tangan anak petempuanku menuju pantai.
Tetapi kekesalanku seketika hilang begitu kami kembali menjejakkan kaki di pantai. Ya Allah, ini surga. Bentangan pasir putihnya yang luas dan panjang membuatku tak sabar untuk segera melepas alas kaki dan berlqri di hamparannya. Ombak bergulung-gulung ditengah laut dan hanya menyisakan gelombang yang tak seberapa ketika menyapu pantai. Angin yang berhembus kencang menebalkan hawa segar di pagi hari. Dan di atas kami langit pagi yang putih bersih menjelma seperti shower raksasa ketika semburat mentari mulai bermunculan dari balik awan mengguyur kami yang di bumi dengan kehangatan. It"s so beautiful scene.
Pagi yang damai
picture :by my self
Pagi yang damai
picture : by myself
Menapak jejak
picture : by myself
Pulau Merah yang menghijau di pagi hari
picture : by myself


Dari kejauhan kulihat ibu dan adikku beserta istrinya melambai-lambaikan tangan ke arah kami. Karena masih sangat pagi -sekitar jam setengah enam- pantai masih sepi. Keadaan itu seolah menjadikannya sebagai pantai pribadi. Tetapi beberapa peselancar ada juga yang sudah memulai petualangannya menantang ombak. Dari balik rimbunan bakau terlihat beberapa backpacker yang berkemas menggulung tenda. Aku menggoda anakku dengan menariknya mendekat ombak yang datang membuatnya menjerit-jerit kecentilan dan celana serta baju kami basah tak terelakkan.

Berlima kami menyusuri pantai, merasakan lembutnya pasir putih dan tepukan sisa ombak yang menjangkau kaki kami. Bukit Pulo Merah yang kemarin sore tampak menghitam dari kejauhan kini tampak berdiri kokoh dan hijau di hadapan kami. Disebut sebagai pulau merah karena pasir dan kerikil yang terhampar di pantainya berwarna kemerah-merahan sehingga ketika tersorot cahaya warna merah akan terpantul dan menyelimuti bukitnya. Tetapi kami tidak bisa menjumpai fenomena tersebut pagi ini. Mungkin karena bukitnya sudah ditumbuhi oleh pepohonan sehingga pantulan warna merahnya kalah oleh hijaunya dedaunan. Karena keberadaannya pula, perairan di sisi depan pulai merah tenang tidak berombak. Airnya sangat jernih dan dalamnya hampir sedada orang dewasa. Tanpa berpikir panjang aku menceburkan diri kedalamnya. Adik iparku berteriak-teriak khawatir aku menginjak landak laut atau hewan laut lainnya yang beracun. Tapi siapa sih yang bisa menolak hidangan yang menggiurkan seperti ini? Akhirnya hanya aku dan anakku yang menikmati kolam renang raksasa ciptaan Tuhan ini.
Puas bermain air di pantai dengan anakku, aku menuju ke tempat ibuku yang telah menyewa tempat duduk berpayung. Per jam harga sewanya dua puluh ribu. Tetapi kalau langsung tiga jam dihargai lima puluh ribu.
Dihadapan beliau telah terhidang es degan dan beberapa kudapan.
"Pagi-pagi minum es bu? Tahan?" tanyaku sembari menghenyakkan pantat diruang kosong sebelahnya.
"Nggak pakai es. Ibu minta yang biasa. "
"Huda mana?"
"Jalan kesana sama istrinya. Ibu nggak ikut, capek. "
Dikejauhan kulihat adikku menggandeng tangan istrinya menyusuri pantai.
Dua orang ibu-ibu menyapa kami.
"Buah naganya bu, mbak. Buat oleh-oleh, " kata salah satu dari mereka sambil menyodorkan irisan buah naga kepada kami. Kuambil sepotong dan kumakan. Hmm, manis dan segar.
"Berapa?"
"Tiga kilo sepuluh ribu, " jawab salah satu ibu sambil menujukkan kantong plastik berisi buah naga sekitar tujuh sampai delapan biji.
"Beneran?" tanyaku tak percaya. Di surabaya perkilo dihargai dua puluh sampai tiga puluh ribu.
Akhirnya kami membeli lima kantong plastik dan minta agar diantarkan ke homestay.
Menjelang jam sembilan sikembar muncul. Keduanya datang dengan mengantongi tangan masing-masing ke dalam sweater.
"Ma, lapar," ucap salah satu dari mereka sambil nyengir. Seorang lagi tanpa berkata apa-apa langsung merebahkan diri disalah satu kursi pantai dan tidur. OMG, ingin sekali kujitak kepala mereka berdua.
Ketika hari semakin beranjak siang pantai mulai ramai. Beberapa bus pariwisata dan kendaraan pribadi mulai memenuhi parkiran. Kamipun meninggalkan pantai untuk ganti memberikan kesempatan kepada mereka menikmati keindahan pantai Pulo Merah dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke tempat berikutnya.
Pantai Pulo Merah meninggalkan kesan yang mendalam bagiku seperti merahnya hatiku yang jatuh cinta pada pandangan pertama terpikat oleh keindahannya.

Saran Pribadi :

  1. Akan lebih menyenangkan bila berkunjung ke sana tidak bertepatan dengan musim liburan, supaya bisa menikmati dan mengeksplore keindahan pantai sepuas-puasnya.
  2. Jika berniat menginap lebih baik mencari hotel/penginapan/homestay yang dekat pantai. Supaya waktu tidak habis di jalan. Karena suasana terindah dan tersyahdu di pantai itu saat pagi dan sore. Dan jika menginap di dekat pantai usahakan menyimpan bekal makan untuk makan malam karena selepas maghrib mayoritas warung makanan akan tutup.
  3. Harga homestay berkisar antara 200 s/d 300 ribu/malam/ kamar atau kalau mau sewa satu rumah antara Rp. 1,3 juta s/d 1,5 jt per malam dan bisa diisi 15 s/d 20 orang. Cocok untuk yang ingin liburan dengan rombongan besar.

Bagi yang berminat menginap di Panjul Homestay bisa menghubungi Mbak Pipin di no 085234179677.

Minggu, 19 November 2017

WRITING IS HEALING

sumber gambar : internet
Percakapan yang sedianya dimaksudkan untuk mengklarifikasi sebuah permasalahan dan mencari pemahaman bersama berujung menjadi kegaduhan yang tak terelakkan. Pasangan suami istri yang sudah tahunan mengarungi bahtera rumah tangga bersama itu saling meninggikan suara. Bentakan dan sanggahan bersahutan di dalam ruang tamu mereka yang sederhana. Endingnya, sebuah vas bunga dari porselen melayang ke udara dan menghantam dinding sebelum akhirnya jatuh berkeping di lantai. Sang istri menangis tersedu di sudut ruang tamu dan sang suami berlalu meninggalkan rumah dengan kemarahan yang belum reda. Sementara itu dari balik pintu kamar tersembul kepala-kepala mungil dengan sorot mata ketakutan menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya.

Beberapa tahun silam saat negara api menyerang, aku pernah berada dalam drama yang nyaris sama dengan situasi tersebut. Bedanya bukan vas bunga yang melayang tapi hp yang harus dikorbankan #lhaaaa... malah tambah tombok akeh, pekok og ancene aku biyen. Begitulah, negara api menyerang dan menghancurkan semuanya membuatku harus mengakhiri segalanya. Tragedi itu meninggalkan luka dan trauma buat kami semua.


Masa-masa setelah itu bisa dikatakan menjadi masa tersuram dalam hidupku. Aku seolah berada dalam ruang tanpa udara dan cahaya sementara sekelompok dementor melayang-layang di atasku menghisap habis kebahagiaanku. Celakanya sebagai seorang mugle aku tak bisa menciptakan patronus untuk mengusir dementor, kecuali si kembar Weasly atau Cedric Digorry datang menolongku #ngawuuur I
Intinya aku berada dalam titik nol dalam hidupku. Depresi berlarut-larut dan menjalani hidup hanya karena masih bernapas saja. Untunglah aku orangnya takut mati sehingga bisa melawan hasrat untuk bunuh diri. Kalau kehilangan selera makan termasuk perbuatan menyakiti diri sendiri maka itulah yang kulakukan. Waktu itu bulan ramadhan. Dan sebulan penuh aku hampir tidak pernah makan sahur maupun berbuka dengan layak. Paling pas buka minum segelas air terus nyomot kue satu, sudah. Begitu juga saat sahur, bahkan sering nggak makan sama sekali. Tubuhku yang sudah kurus menjadi semakin kurus. Tapi anehnya dan alhamdulillah aku tidak menjadi sakit karena hal itu.

Ironisnya aku ini orangnya introvert dan pemalu #uhuks. Aku tidak terbiasa dan tidak nyaman menceritakan masalahku kepada orang lain. Bahkan kepada keluarga sendiri. Aku selalu cenderung menyimpannya untuk diri sendiri. Sikap seperti ini tentu sangat berbahaya secara kesehatan mental. Depresi yang berkepanjangan dan tidak segera diatasi akan terakumulasi menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak. Dan puncaknya adalah tindakan yang bisa menyakiti diri sendiri dan orang lain bahkan bunuh diri. Naudzubilahimindzalik. ..

Aku harus selalu bersyukur masih dikaruniai sedikit kewarasan untuk bisa memaksa diri sendiri keluar dari tekanan batin itu. Suatu malam aku mengambil kertas hvs dan mulai menulis dalam huruf kapital menggunakan board marker. Kalimat pertama yang kutulis adalah "RASA SAKIT INI BAGAIKAN GATAL DI PUNGGUNG YANG TAK BISA KUGARUK" #ayobayangin, kesel kan kalau gatal terus nggak bisa nggaruk. Aku berusaha mendeskripsikan apa yang sedang ku rasakan dan yang ingin kulakukan.Kemudian setelahnya, berlembar-lembar kertas hvs bertebaran di lantai penuh berisi tulisan. Aku memaki, mengumpat, misuh, meratap, mengutuk dan sebagainya dan sebagainya. Setiap goresan board marker yang aku tekankan di kertas hvs itu berisi endapan emosi dan perasaan yang aku pendam selama ini. Selain menulis berlembar-lembar sumpah serapah, aku juga menangis #kudu no wong aku gembeng. Berjam-jam aku melakukan hal itu. Menulis dan menangis. That night, I was trying to cure my self. And thank God it worked. Beban itu sedikit demi sedikit terangkat. Aku tak butuh patronus apalagi Cedric Digory untuk membuat dementor pergi. Aku hanya perlu jujur kepada diriku sendiri dan menuliskannya. Aku memilih untuk membuat diriku bahagia.

Dalam sebuah bahasan psikologi (aku lupa membacanya di mana) bahwa sebagian besar orang yang sedang memiliki masalah sebenarnya tahu dengan persis solusi dari masalah yang sedang dihadapinya. Yang sebenarnya dibutuhkan adalah media untuk bisa membantu melepaskan emosi/depresinya. Makanya seseorang yang sedang bermasalah cenderung membutuhkan teman untuk curhat. Bukan untuk meminta solusi tetapi lebih kepada membutuhkan orang yang bisa mendengarkan keluh kesahnya. Psikiater adalah media profesional yang bisa dipilih. Dan menulis adalah bentuk pilihan lainnya.


Curhat kepada diri sendiri melalui tulisan itu berlanjut hingga kini. Aku tidak memiliki buku khusus semacam diary untuk menampung keluh kesahku sendiri. Aku masih sering menulis di lembar kertas hvs yang kadang kusimpan untuk beberapa lama dan kemudian kubuang. Kalau di hp aku menggunakan aplikasi evernote sebagai penampung luapan emosiku. Tapi ya gitu, jarang yang kusimpan secara permanen kecuali yang sifatnya umum dan bisa dikonsumsi orang banyak. Seringnya ketika iseng-iseng membacanya lagi aku merasa malu dan muneg-muneg #nggilani, wkwkwkwk.Yang penting bagiku adalah bagaimana mengeluarkan emosi itu. Dengan curhat kepada diri sendiri aku tidak perlu jaim. Aku bisa jujur, sejujur-jujurnya dan sebenarnya itulah pointnya.

ps. 
Beberapa hari ini aku membaca di temlen beberapa peristiwa yang mengisahkan seorang ibu, nenek atau orang-orang terdekat lainnya yang tega melakukan penganiayaan kepada anaknya,cucunya atau kerabatnya yang masih anak-anak. Pertanyaannya, kok bisa? Kok tega mereka melakukan tindakan tersebut. Dari beragam pendapat yang muncul kondisi kejiwaan pelaku dianggap sebagai pemicu utama, dimana mungkin sebelumnya para pelaku tersebut memiliki trauma dan luka yang belum tersembuhkan sehingga tindakan penganiayaan tersebut terjadi sebagai bentuk pelampiasan.Entah benar atau tidak, dengan alasan apapun tentunya tindakan penganiayaan tersebut tidak bisa dibenarkan.Topik ini mengingatkan diriku -orang yang merasa pernah memiliki trauma dan luka dan berada pada titik terendah dalam hidup- untuk selalu berucap syukur alhamdulillah bisa terlepas dari jeratan depresi.