sumber : internet
Aku mempunyai tiga permintaan sederhana. Semuanya
bukan permintaan yang berlebihan.
Yang pertama adalah menghadiri gaun musim dingin
resmi layaknya Marie Antoinette. Aku
ingin sebuah wig yang rumit yang bisa mengandangkan seekor burung dan sebuah
gaun yang sangat lebar sehingga aku hanya bisa masuk ruang dansa melalui pintu
ganda. Tapi aku akan
mengangkat rokku tinggi-tinggi saat datang untuk menunjukkan
sepasang sepatu panggung tempur hingga semua orang bisa melihat
bahwa dibawah rok yang berjumbai-jumbai aku adalah seorang punk-rock yang tangguh.
Yang kedua adalah orangtuaku menyetujui hubunganku
dengan pacarku.
Mereka membencinya. Mereka
membenci rambutnya yang memutih dengan akar yang tetap gelap dan mereka benci
tangannya yang bertato bergambar lengan jaring laba-laba dan bintang. Menurut mereka bulumatanya tampak
merendahkan dan senyumnya lebih dibuat-buat. Dan mereka tersiksa mendengarkan musiknya
yang membahana dari kamarku, dan mereka lelah bertengkar mengenai jam malam
kapanpun aku menyaksikan bandnya bermain di klub.
Dan permintaanku yang ketiga?
Untuk tidak-tidak-tidak pernah lagi bertemu dengan
si kembar Bell lagi. Jangan pernah.
Tetapi aku lebih suka berdiskusi tentang
pacarku. Aku menyadari bahwa menginginkan persetujuan orang tuaku bukanlah
sesuatu yang keren, tapi jujur saja, hidupku akan lebih mudah jika mereka menerima
bahwa Maxlah orangnya. Ini berarti akhir
dari pembatasan yang memalukan, akhir dari pengecekan setiap-jam-setiap telepon
untuk kencan kami dan yang terbaik dari semuanya adalah berakhirnya brunch di
hari Minggu.
Berakhirnya pagi seperti ini.
"Tambah wafflenya Max?"
Ayahku, Nathan, mendorong tumpukan keemasan itu ke
pacarku, menyeberangi meja pertanian kami yang antik. Itu bukanlah pertanyaan yang
sebenarnya. Itu adalah sebuah perintah sehingga orangtuaku bisa
melanjutkan interogasi mereka sebelum kami pergi. Penghargaan yang kuterima untuk menghadapi
brunch? Kencan minggu
siang yang lebih santai dengan lebih sedikit pengecekan
Max mengambil dua dan menuangkan untuk dirinya
sendiri sirup raspbery peach. "Terimakasih,
sir. Mengagumkan seperti biasa." Dia menuangkan sirup dengan hati-hati,
satu tetes untuk setiap kotaknya. Terlepas dari penampilannya, Max pada dasarnya berhati-hati. Itulah
sebabnya dia tidak pernah minum ataupun mengisap ganja pada Sabtu malam. Dia
tidak ingin datang untuk brunch dengan terlihat mabuk yang mana tentu saja itu adalah
hal yang sedang diawasi oleh orangtuaku. Bukti dari penyelewengan.
"Terimakasih Andy." Nathan menyentakkan
kepalanya kepada ayahku yang lain, yang menjalankan toko pie di luar rumah.
"Dia yang membuatnya."
"Lezat. Terimakasih sir." Max tidak
pernah kehilangan sebuah pukulan. "Lola, apakah kau sudah selesai?"
Aku meregang, dan gelang-gelang Bakelit berukuran
tujuh inci di pergelangan kananku saling berbenturan. "Yeah, seperti dua puluh menit yang
lalu. Ayo," aku menoleh dan memohon pada Andy, kandidat yang paling besar
kemungkinannya untuk membiarkan kami pergi. "Bolehkan kami pergi
sekarang?"
Dia mengerjapkan matanya dengan polos. "Mau
nambah jus jeruk?Frittata?"
"Tidak" Aku berjuang dari keterpurukan. Terpuruk
itu tidak menarik.
Nathan menusuk waffle yang lain. "Jadi. Max.
Bagaimana pembacaan meter dunia berjalan?"
Saat Max tidak sedang menjadi dewa rock punk indie,
dia bekerja untuk City of San Fransisco. Hal
itu membuat Nathan dongkol bahwa Max tidak tertarik untuk kuliah. Tetapi apa yang tidak dipahami oleh ayahku
adalah bahwa Max itu sebenarnya brilliant. Dia membaca buku filosofi yang
rumit yang ditulis oleh orang yang namanya tidak bisa kuucapkan dan dia
menyaksikan banyak film dokumenter tentang kemarahan politik. Aku sudah
pasti tidak akan berdebat dengannya.
Max tersenyum dan alisnya yang hitam menunjukkan
keluhan. “Masih sama seperti minggu lalu.”.
"Bagaimana dengan band?" tanya Andy.
"Tidakkah seorang eksekutif rekaman seharusnya datang di hari Jumat?"
Pacarku cemberut. Orang dari perusahaan
rekaman tidak pernah muncul. Sebagai gantinya Max memberitahu Andi
info terbaru tentang album Amphetamin yang akan datang sementara aku dan Nathan
bertukar pandangan marah. Tak diragukan,
sekali lagi ayahku dikecewakan karena dia belum menemukan apapun untuk
memberatkan Max. Selain masalah umur, tentu saja.
Yang menjadi alasan sebenarnya bagi orang tuaku
untuk membenci Max.
Mereka benci bahwa aku tujuh belas dan Max dua
puluh dua.
Tapi aku adalah seorang dengan keyakinan kuat
menyangkut umur. Disamping itu selisih umur kami hanya lima tahun, jauh
lebih sedikit daripada perbedaan antara kedua orang tuaku. Meskipun
tidak ada gunanya menunjukkan hal itu atau fakta bahwa umur Nathan sama dengan
pacarku saat orang tuaku mulai berkencan. Ini hanya akan membuat mereka
marah. "Aku mungkin seumuran dia tapi Andy sudah berumur tiga
puluh," kata Nathan selalu. "Bukannya seorang remaja. Dan kami punya banyak pacar sebelumnya,
pengalaman hidup yang berlimpah. Kau tidak bisa menarik kesimpulan untuk
hal-hal seperti ini. Kau harus berhati-hati."
Tetapi mereka tidak ingat seperti apa menjadi muda
dan kasmaran. Tentu saja aku bisa menyimpulkan hal-hal seperti
ini. Ketika seseorang itu adalah Max aku bodoh jika tidak
melakukannya. Sahabat baikku berpikir hal seperti ini menjadi sulit
karena orang tuaku sangat kaku. Lagipula, bukankah seharusnya sepasang gay
akan bersimpati dengan tawaran godaan dari pacar yang seksi dan agak berbahaya?
Jauh sekali dari kebenaran. Ini menyakitkan.
Bukan masalah bahwa aku adalah putri yang sempurna. Aku tidak minum ataupun mengonsumsi narkoba
dan aku tidak pernah merokok sebatangpun. Aku belum menabrakkan mobil mereka-aku bahkan tidak bisa mengemudi,
jadi mereka tidak membayar tarif ansuransi yang tinggi-dan aku memiliki
pekerjaan yang layak. Aku
mempunyai peringkat yang baik. Well, selain biologi, tapi secara
prinsip aku menolak untuk membedah janin bayi babi. Dan aku hanya memiliki satu lubang di
masing-masing telinga dan tidak ada cat. Belum. Aku bahkan tidak malu
untuk memeluk orang tuaku di tempat umum.
Kecuali waktu Nathan memakai sweatband saat
dia berlari. Karena itu keterlaluan.
Aku membersikan piringku dari atas meja berharap
untuk mempercepat semuanya. Hari
ini Max mengajak ke tempat favoritku yaitu Japanese Tea Garden, lalu dia akan
mengantarkanku ke tempat kerja untuk shift malamku. Dan semoga
diantara pemberhentian, kami akan menghabiskan waktu yang berkualitas bersama
di dalam Chevi Impala '64 miliknya.
Aku bersandar di meja dapur membayangkan mobil Max.
“Aku hanya terkejut dia tidak memakai
kimononya," kata Nathan.
"Apa?" Aku benci ketika aku sedang
bengong dan menyadari orang-orang sedang membicarakanku.
"Piyama China ke Kebun Teh Jepang?"
lanjutnya, menunjuk bawahan sutra merahku. "Apa yang akan dipikirkan
orang-orang?"
Aku tidak percaya fashion. Aku percaya
kostum. Hidup terlalu singkat untuk menjadi orang yang sama tiap
hari. Aku memutar mataku untuk menunjukkan pada Max bahwa aku menyadari
orang tuaku sedang bertindak menyedihkan.
"Waria kecil kami.
"Ini baju baru." Aku merebut piringnya
dan membuang sisa brunch ke dalam mangkuk Betsy. Matanya mengecil
dan dia menghisap wafflenya dengan satu gigitan anjing yang besar
Nama lengkap Betsy adalah Heavens to Betsy dan kami
menyelamatkannya dari pengontrol binatang beberapa tahun lalu. Dia adalah seekor anjing kampung, dibesarkan
seperti seekor golden retriever tapi berwarna hitam. Aku ingin seekor anjing hitam karena
Andy pernah mengkliping artikel di majalah-dia selalu mengkliping artikel,
biasanya tentang remaja yang sekarat karena over dosis atau tertular sipilis
atau hamil dan drop out dari sekolah-mengenai bagaimana anjing berwarna hitam
selalu menjadi yang paling terakhir diadopsi dari tempat penampungan, oleh
karena itu lebih memungkinkan untuk terlantar.
"Lola."Andi memasang wajah seriusnya.
"Aku belum selesai."
"Kalau begitu ambillah piring baru."
"Lola," kata Nathan, dan aku memberi Andi
sebuah piring bersih. Aku takut mereka mengubah hal ini menjadi
Sesuatu di depan Max saat melihat Betsy merengek untuk mendapatkan waffle
lagi.
“Tidak, " aku memberitahunya.
"Apa kau sudah mengajaknya berjalan-jalan
hari ini?" tanya Nathan padaku.
"Tidak, Andy yang melakukannya."
"Sebelum aku mulai memasak,"sahut
Andi."Dia siap untuk jalan-jalan lagi."
"Mengapa kau tidak mengajaknya jalan-jalan
sementara kami menyelesaikannya dengan Max?" tanya Nathan. Perintah yang
lain, bukan sebuah permintaan.
"Aku menatap sekilas pada Max dan dia
memejamkan matanya seperti tidak percaya mereka akan melakukan trik seperti ini
lagi."Tapi. Dad-"
"Tak ada tapi, kau yang menginginkan anjing,
kau yang mengajaknya jalan-jalan."
Itu adalah salah satu slogan Nathan yang paling
menyebalkan. Heaven to Betsy seharusnya milikku, tapi dengan lancang dia
malah jatuh cinta pada Nathan yang membuat aku dan Andy jengkel tiada
akhir. Kami adalah yang memberinya makan dan mengajaknya
jalan-jalan.
Aku meraih biodegradable baggies dan
tali pengikatnya-yang kusulam dengan hati boneka jaring Rusia-dan dia sudah
mengamuk. "Yeah, yeah. Ayolah."
Aku memberi Max tatapan permintaan maaf yang lain lalu
aku dan Betsy keluar.
Ada dua puluh satu tangga dari beranda menuju jalan
trotoar. Kemanapun kau pergi di San Fransisco kau harus berurusan dengan
tangga dan bukit. Cuaca diluar terasa hangat, jadi bersama
dengan bawahan piyama dan gelang Bakelite aku mengenakan tank top. Aku
juga memakai kaca mata besar putih Jackie O, wig panjang berwarna brunete
dengan zamrud di ujung-ujungnya dan sandal balet hitam. Sandal balet yang
asli bukan hanya datar yang kelihatan seperti sandal balet.
Resolusi tahun baruku adalah untuk tidak lagi
memakai pakaian yang sama dua kali.
Sinar matahari terasa menyenangkan di pundakku. Tidak
masalah bahwa sekarang ini Agustus, dikarenakan teluk, suhunya tidak
banyak berubah sepanjang tahun. Akan selalu
dingin. Aku bersyukur dengan cuaca yang tak biasa hari ini karena ini
berarti aku tidak harus memakai sweater untuk kencan.
Betsy kencing di rumput persegi
panjang kecil-kecil di sebelah rumah-dia selalu kencing di sini yang
kusetujui sepenuhnya-dan kami berlalu. Kendatipun
orangtuaku menyebalkan, aku bahagia. Aku memiliki sebuah kencan romantis dengan pacarku, jadwal yang baik
dengan partner kerja favoritku dan seminggu lagi liburan musim
panas.
Kami mendaki dan menuruni bukit yang besar yang
memisahkan jalan rumahku dari taman. Ketika kami tiba, seorang pria korea dengan pakaian olahraga beludru
menyapa kami. Dia sedang melakukan tai chi di antara pohon-pohon
palm. “Hello, Dolores! Bagaiman ulang tahunmu?" Mr. Lim adalah
satu-satunya orang selain orang tuaku (saat mereka marah) yang
memanggilku dengan nama asli. Anak perempuannya, Lindsey adalah sahabat
baikku: mereka tinggal di beberapa jalan di atas.
"Hai, Mr. Lim. Ulangtahun saya
baik!"
Ulangtahunku adalah minggu lalu.
Dan menjadi yang paling awal dari
siapapun di angkatanku yang mana aku menyukainya. Hal tersebut memberi tambahan aura
kedewasaan padaku. "Bagaimana dengan restauran?"
"Berjalan dengan baik, terima kasih. Semua
orang meminta daging galbi minggu ini. Sampai jumpa Dolores! Salam untuk orang
tuamu."
Nama wanita tua diberikan karena aku dinamai
setelah yang satunya. Nenek buyutku Dolores Deeks meninggal beberapa tahun
sebelum aku lahir. Dia adalah nenek Andy dan dia
menakjubkan. Jenis
wanita yang mengenakan topi bulu dan berbaris dalam protes-protes menuntut
hak-hak penduduk. Dolores adalah orang pertama yang di datangi
Andy. Dia berumur
tiga belas saat itu. Mereka sangat dekat dan ketika dia meninggal dia
meninggalkan sebuah rumah untuk Andy. Itu adalah rumah di mana kami
tinggal, rumah bergaya Victorian bercat hijau mint milik nenek buyut Dolores
yang terletak di district Castro.
Yang kami tidak akan pernah mampu untuk membelinya
tanpa wasiatnya yang murah hati. Orang
tuaku menganut kehidupan sehat tapi tidak seperti para tetangga. Rumah-rumah yang terawat di jalan kami
dengan dekorasi cornice yang runcing semuanya berasal dari uang lama. Termasuk
rumah lavender di sebelah.
Aku juga berbagi nama dengan taman ini, Mission
Dolores. Itu bukanlah sebuah kebetulan. Nenek buyut Dolores diberi nama setelah misi
terdekat yang dinamai dari sebuah sungai kecil bernama Arroyo de Nuestra
Senora de los Dolores. Yang artinya Sungai airmata Nyonya
Kami. Sebab siapa yang ingin dinamai dengan tubuh depresi dari
air? Ada juga sebuah
jalan besar disekitar sini yang disebut Dolores. Aneh.
Aku lebih senang dipanggil Lola
Heavens to Betsy selesai dan kami menuju
rumah.
Kuharap orang tuaku tidak sedang
menyiksa Max. Untuk seseorang yang kurang ajar di panggung, dia sebenarnya
tertutup dan pertemuan mingguan ini tidak mudah baginya. "Kupikir
berurusan dengan satu ayah sudah cukup buruk,"katanya suatu
kali."Tapi dua?" Ayahmu akan menjadi kematianku, Lo."
Sebuah truk menderu melintas, dan ini aneh, karena tiba-tiba
saja-secepat itu- suasana hatiku digantikan oleh kegelisahan. Kami
mempercepat langkah. Max pasti lebih
dari tidak nyaman sekarang ini. Aku tidak bisa menjelaskannya tetapi
semakin dekat dengan rumah aku merasa semakin buruk. Sebuah skenario
mengerikan melintas di pikiranku: orangtuaku, begitu tak kenal lelah dengan
pertanyaan-pertanyaan membuat Max memutuskan bahwa aku tidak
layak lagi.
Harapanku adalah suatu hari nanti ketika kami telah
bersama lebih lama dari satu musim panas, orangtuaku akan menyadari bahwa
dialah orangnya, dan umur tidak akan menjadi masalah lagi. Tapi kendatipun
mereka tidak mampu melihat kebenaran itu sekarang, mereka tidaklah bodoh. Mereka
setuju dengan Max karena mereka pikir jika mereka melarangku untuk menemuinya
kami hanya akan kabur bersama. Aku akan
pindah ke apartemennya dan mendapatkan pekerjaan sebagai penari telanjang
atau dealing acid.
Yang tentu saja melampaui batas.
Aku sekarang berlari, membawa Betsy menuruni
bukit. Ada sesuatu yang salah. Dan aku yakin
itu terjadi-bahwa Max telah pergi atau orangtuaku memojokkannya dalam argumen
yang panas, hidupnya yang tidak punya tujuan-ketika aku mencapai jalanku,
semuanya tersambung.
Truk pindahan
Bukan brunch
Truk pindahan
Tapi aku yakin truk itu milik penyewa yang lain. Harus,
dan selalu begitu. Keluarga terakhir, pasangan yang
beraroma seperti bayi Swiss dan mengoleksi keanehan medis seperti ginjal
keriput yang dikeringkan dan model vagina yang terlalu besar, pindah seminggu
yang lalu. Sepanjang
dua tahun ini ada rentetan para penyewa dan setiap kali seseorang pindah aku
tidak bisa menahan sakit hingga penyewa yang baru datang.
Karena bagaimana jika saat ini adalah saatnya bagi
mereka untuk kembali?
Aku memperlambat langkah agar bisa melihat lebih
baik ke truk.
Apa ada seseorang di luar? Aku tidak melihat sebuah mobil yang
terparkir di garasi saat lewat beberapa waktu lalu, tapi aku telah membuat
sebuah kebiasaaan untuk tidak menatap ke rumah sebelah. Cukup yakin, ada
dua orang didepan di sisi jalan.
Aku melebarkan mata dan menemukan, dengan campuran
kegelisahaan dan kelegaan bahwa itu hanya petugas pindahan. Betsy menyentak tali pengikatnya dan aku
melangkah lagi.
Aku yakin tak ada yang harus di khawatirkan. Apa
peluangnya.
Kecuali....selalu ada peluang. Petugas
pindahan mengangkat sebuah sofa putih dari belakang truk dan jantungku berdebar
lebih keras. Apakah aku mengenalinya? Apakah aku pernah duduk di
kursi yang menyenangkan itu sebelumbya? Tapi
tidak. Aku tidak tahu. Aku mengintip ke dalam truk yang penuh sesak itu
mencari apapun yang familiar dan aku menjumpai tumpukan perabot yang sangat
modern yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Bukan mereka. Tidak mungkin mereka.
Bukan mereka.
Aku menyeringai lebar-sebuah senyuman bodoh yang
membuatku tampak seperti seorang bocah yang normalnya aku tidak mengijinkan
diriku untuk melakukannya- dan melambai pada petugas pindahan. Mereka
bersungut-sungut dan balas mengangguk. Pintu garasi rumah lavender terbuka
dan sekarang aku yakin bukan itu sebelumnya. Aku memeriksa mobil dan keyakinanku semakin
dalam. Itu mobil yang ringkas berwarna perak dan aku tidak mengenalinya.
Selamat. Sekali lagi. Hari ini hari yang
bahagia.
Aku dan Betsy terikat di dalam. " Brunch
selesai. Ayo Max."
Semua orang sedang memandang keluar jendela depan
ruang tamu kami.
"Sepertinya kita punya tetangga lagi,"
kataku.
Andy terlihat terkejut dengan keceriaan dalam
suaraku. Kami belum pernah membicarakannya, tapi dia tahu sesuatu terjadi
di sana dua tahun lalu. Dia tahu bahwa aku khawatir dengan kembalinya
mereka, bahwa aku resah dengan setiap hari kepindahan.
“"Apa?"
Aku kembali menyeringai, tapi kemudian menghentikan diriku sendiri sadar akan
keberadaan Max. Aku berbicara lebih pelan.
"Uh, Lo? Kau tidak melihat mereka secara
kebetulan?"
Kepedulian Andy terasa menyentuh. Aku
melepaskan tali pengekang Betsy dan menyikatnya di dapur. Bertujuan untuk mempercepat pagi dan
mendapatkan kencanku, aku memindahkan sisa piring-piring dari meja menuju
bak cuci piring. "Nope." Aku tertawa. "Apakah mereka
mempunyai vagina plastik lainnya? Boneka jerapah? Baju zirah abad
pertengahan-apa?"
Mereka bertiga menatapku.
Tenggorokanku tercekat."Apa itu?"
Max memeriksaku dengan rasa ingin tahu yang tidak
biasa. "Orang tuamu bilang kau mengenal keluarga ini."
No. NO.
Seseorang sedang mengatakan sesuatu yang lain tapi aku
tidak bisa mendengarnya. Kakiku membawa
tubuhku menuju jendela sementara otakku berteriak menyuruh kembali. Tidak mungkin mereka! Itu bukan furniture mereka. Itu bukan mobil mereka. Tapi orang
membeli barang-barang baru. Mataku
terpaku ke rumah sebelah saat sesosok tubuh muncul di beranda. Piring-piring di
tanganku-mengapa akau masih memegang piring?-jatuh pecah dilantai.
Karena disanalah ia.
Calliope Bell